Bertemu.


Kita bertemu. Di persimpangan jalan. Aneh, jalanan itu begitu sepi, tidak ada kendaraan bermotor. Hanya beberapa orang berjalan, bersisian, sendirian. Tidak ada yang memperhatikan kita yang saling bersitatap tanpa berkata apa-apa.

Kuat sekali keinginan dalam hatiku untuk berlari ke arah mu. Entah bagaimana, rasanya aku pun tau betapa ingin hatimu menuju ku. Tatapanmu kosong sekaligus penuh. Sementara lidahku kelu.

Tanganmu berusaha menjangkau tubuhku, tiba-tiba saja tubuh kita saling mendekat, bahkan tanpa perlu melangkah. Kita begitu dekat, sangat dekat. Namun entah mengapa, tanganmu tertahan hingga tak bisa meraihku.

Kini aku yang berusaha meraihmu, namun aku pun sama. Tak mampu meraihmu barang setitik pun. Telunjuk kita sudah sangat dekat, layaknya terselang selembar kertas tipis. Namun tetap tidak bisa saling bersentuhan.

Air mata ku turun begitu saja, seakan menyadari bahwa takdir memang sudah tidak lagi kita miliki.

Perlahan kamu menjauh, aku juga. Namun sekuat tenaga aku menahan diriku.

Pintaku dalam hati, izinkan aku merengkuhmu sekali lagi ini saja. Namun apapun yang kini sedang menarikku rasanya tak mengizinkan permintaanku.

Kamu tidak bersuara, namun aku bisa mendengar rintihmu, teriakmu, memanggil-manggil namaku. Kamu juga tertarik, ke lubang hitam yang membuat perlahan kamu tidak terlihat lagi.

Seketika sepi. Aku tak lagi melihat, atau mendengarmu. Aku sendiri di pusara sunyi ini. Bukan lagi persimpangan jalan, tak ada ada lagi orang berlalu lalang.

Aku tiba-tiba bisa merasakan diriku sendiri, aku bisa mengendalikan tanganku. Tak ada lagi tarikan ke belakang.

Maka aku berlari, berlari begitu kencang menuju tempat kamu tertarik dan hilang. Sekali ini saja, aku ingin menemukanmu, meski harus melepasmu lagi.

Tolong, tolong. Rapal ku dalam hati.

Aku berlari dan terus berlari, terpaan angin dingin tak aku hiraukan, jalanku lurus menuju lubang hitam yang menghilangkanmu.

Pelan-pelan aku lihat sesosok orang juga sedang berlari, ke arahku. Perlahan-lahan aku tau itu kamu. Kamu pun sedang berlari! Aku menambah kecepatan lariku, menggunakan kekuatan yang masih tersisa. Kita sudah saling dekat, tapi...ah, kenapa tak juga sampai?

Buk!

Aku menabrak dinding, tapi aku tak ada apa-apa. Kamu juga. Larimu terhenti, entah oleh apa.

Kamu berusaha menjangkau ku, sebagaimana tanganku berusaha meraihmu. Namun entah dinding sialan apa ini, tapi aku dan kamu sepertinya sama-sama tertahan.

Lalu keadaan seakan berputar-putar, tak menentu arahnya. Aku bisa melihatmu tetap tegak berdiri di hadapanku meski latar tempatmu berputar-putar.

Pusing, pusing sekali rasanya. Tapi aku pun tetap berdiri tegak. Tetap berusaha menggapaimu.

Lagi-lagi semuanya sunyi senyap. Lalu aku merasakan sentuhan dingin di kulitku. Jemarimu! Akhirnya kita bisa saling bersentuhan.
Segera saja, kamu meraihku ke dalam pelukmu. Seraya aku melempar diri agar direngkuh olehmu.

Sedetik, dua detik, tiga detik...

Latar tempat di belakang kami kembali berputar-putar, suara tangis menjerit memekakkan telinga. Entah tangis siapa. Di sekitar angin riuh bergemuruh, membuat dedaunan—tiba-tiba banyak pohon di sekitar kami, berjatuhan. Kemudian hujan, begitu deras. Namun kami tidak basah. Tidak terganggu oleh apapun yang terjadi di dunia ini.

Hanya aku, kamu, saling berpelukan. Begitu damai, begitu nyaman.

Tuhan...

Aku berbisik dalam hati.
Kemudian segalanya lagi-lagi lenyap. Suasana kembali lengang. Kita kembali ke persimpangan jalan.

Kini, tanpa perlu tarikan dari belakang, kita saling melepaskan diri. Aku bisa merasakan basah pipimu kala kamu mengecup keningku.

Tanpa suara, tanpa kata sedikitpun, kita sama-sama tau seberapa dalam kita saling terluka.

Sudah, ku kembalikan ia pada semesta. Biar terserah dunia bagaimana mengaturnya.

Kamu melepas kecupku, kosong sekali rasanya.

Tersenyumlah. Bisikku dalam hati.

Seakan mendengarku, perlahan senyum itu muncul. Tipis sekali. Tak ayal aku pun ikut tersenyum.

Tenang sekali rasanya ketika bisa melihat senyum itu lagi.

Sudah, bisikmu.

Iya, balasku.

Lagi-lagi, tanpa suara. Hanya bisik hati.

Sampai jumpa, katamu.

Iya, balasku.

Lalu perlahan kamu mundur, kini perlahan, begitu pelan. Kamu tidak melangkah, hanya pergi ke belakang. Tak ada lagi lubang hitam, hanya kamu pergi menjauh, semakin jauh.

Sementara aku masih di tempat awal aku berdiri tadi. Entah harus kemana.

Sampai nanti,

Kala dua nelangsa ini, bisa menemukan harsa nya lagi.


(source: wehearrit.com)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

A Chapter.