The Sweetest Surrender
Aku
menatap jalanan lengang di hadapanku. Pukul empat lewat lima puluh delapan pagi.
Beberapa
jam sebelum ini, pukul tujuh lewat tujuh, aku masih berada di sebuah rumah yang
rasanya sangat mengekang kebebasan ku dalam mengekspresikan rasaku sendiri.
Aku
melihat di cermin, bagaimana seorang ayah memperlakukan anak perempuannya
dengan kasar, ia menampar persis di pipi kanan anak perempuan tersebut. Sementara
ibu dari si anak perempuan hanya bisa terdiam sambil menitikkan air mata. Ia pun
bingung bagaimana lagi harus bersikap ketika satu-satunya anak perempuan di
rumah itu, sudah tidak lagi mau mendengar kata-kata ibu kandungnya sendiri.
Dua
anak lainnya yang berjenis kelamin laki-laki dan sepertinya lebih tua dibanding
si anak perempuan, hanya diam duduk di sofa, mencoba menenangkan ibu mereka. Kedua
laki-laki itu, pun, bingung harus melakukan apa. Mereka ingin melindungi adik
kecil mereka, namun juga tidak ingin membenarkan perilaku adik kecil yang
mereka pernah lindungi setengah mati, bahkan mungkin masih, hingga kini. Meski malam
ini, mereka tau, mereka telah gagal melindungi adik kecil mereka.
Aku
menatap sekali lagi ke cermin itu. Air mata anak perempuan itu berlinang. Mengharap
pengampunan dari keluarga yang sebenarnya sungguh ia sayangi.
Namun
entah, apakah empat orang lainnya masih menganggap perempuan ini keluarga
mereka atau tidak. Karna tepat lima belas menit yang lalu, luka dalam telah ia
torehkan pada hati keempat orang tersebut. Persis ketika ia mengaku bahwa telah
ada keberadaan nyawa lain di tubuhnya saat itu.
Teriakan,
amukan, hingga pukulan ia terima. Ia marah, sekaligus bangga, pada dirinya
sendiri. Ia marah karna membuat air mata seorang perempuan lain yang begitu ia
sayangi terjatuh karnanya. Namun tidak dapat ia pungkiri, ia juga bangga, karna
akhirnya ia bisa membuktikan bahwa ia pun manusia yang memiliki rasa serta
ekspresi. Bahwa tidak selamanya ia bisa dikekang seperti sebelumnya.
Terakhir
yang ia ingat, ia dilempar pergi begitu saja oleh ayahnya. Ia tidak sempat
melihat bagaimana wajah ibu atau kedua orang kakak laki-lakinya. Ayah sudah
tidak mengizinkannya lagi, meski hanya mengintip sebentar saja.
Hatinya
hancur, sekaligus bebas.
Hatinya
sakit, sekaligus lega.
***
Kembali
pada jalanan lengang, dan rasa damai, ini. Aku melirikmu yang sedang berkonsentrasi
menyetir mobil, sesekali menguap lebar. Aku melayangkan tanganku, mengusap
ujung kepala hingga tengkukmu, membuatmu menoleh ke arahku lalu tersenyum.
Aku
membalas senyuman itu.
Aku
menyayangi kamu. Seharusnya kamu tau itu.
Karna
setelah beberapa bulan lalu aku menyerah pada cinta dan bersedia menjalani
hubungan terlarang ini,
Juga
setelah beberapa minggu lalu aku menyerahkan sesuatu yang sudah sepantasnya aku
jaga,
Maka
malam ini aku menyerahkan seluruh hidupku padamu.
Kamu
meraihku ke dalam pelukanmu—merangkul lembut dan mengusap bahuku.
Iya, aku tau kita akan
baik-baik saja.
(source: wwww.fanpop.com)
Sembilan
bulan kemudian, ketika untuk pertama kalinya aku mendengar tangisan itu, aku
semakin percaya bahwa memilih untuk bersamamu adalah menyerah terindah yang
pernah aku lakukan.
Komentar
Posting Komentar