Alunan dalam Senja
“Nja!
Ngelamun mulu. Mikirin siapa, sih?”
“Eh,
udah dateng? Enak ya tidur di rumah, terus gue sendirian nungguin lo disini?”
“Hehehe,
namanya juga ketiduran. Ngga sengajaa.” Gitar memamerkan giginya yang berderet
rapih pada perempuan yang kini duduk di sampingnya, Senja.
“Halah.
Yaudah deh, cepet ngomong, ngapain ngajak gue ketemu disini?”
“Lah,
emang gue yang ngajak?”
“Tar
yang bener aja, ya, lo. Jelas-jelas tadi malem elo yang nelfonin gue minta
ketemu disini.”
“Hehehe,
iya, iya. Sabar dong.”
“Ada
apaan, sih? Tumben amat.”
“Nja,
gue mau jujur sama lo.”
“Lo
sebenernya itu perempuan? Yaelah, kalo itu mah gue udah tau!”
“Ih,
gue lagi serius.”
“Ohh
jadi udah serius? Bilang dong.”
“Tadi
yang minta buru-buru, kan, elo. Terus sekarang mau becanda aja? Oke boleh.”
“Hahahaha,
iya, iya, serius nih. Ayok cepetan serius.” Ucap Senja sambil memukul pelan
lengan Gitar.
“Menurut
lo, cinta datengnya darimana?”
“Ini
serius?”
“Iya
ini lagi serius. Coba jawab.”
Sebelum
menjawab Senja memandangi langit di atasnya yang sedang menorehkan pemandangan
langit indah yang bernama sama dengan dirinya, Senja.
“Datang
dari Senja.” Jawabnya asal.
“Itu,
sih, nama lo.”
“Hmm,
dari mata?”
“Ih,
Nja! Itu mah lagu.”
“Hahaha,
abis darimana dong?”
“Mikir
yang bener.”
“Cinta
itu datang dari…” Raut wajah Senja berubah sebentar, kemudian ia tutupi lagi
dengan senyuman manis di bibirnya, “Dari mata ah, Tar, fix. Sampe ada lagunya berarti kan udah valid.”
“Lo
mah becanda. Males gue.” Wajah merengut Gitar membuat Senja tergelak.
“Ngga
usah cemberut gitu, dong. Emang menurut lo darimana? Otak gue lagi liburan nih,
ngga bisa mikir jadinya.”
“Menurut
gue, cinta itu datang dari rangkaian cerita yang terbalut tawa dan berasal dari
rasa percaya. Di dalamnya ada nyaman, ada tanggung jawab, serta ketulusan.”
Senja
tertegun mendengar jawaban Gitar.
“Cinta
itu datang dari proses, Nja. Proses yang lama, proses yang ngga selalu
menyenangkan. Di dalam prosesnya ada penyangkalan, ada pergulatan dengan batin
sendiri. Tapi juga ada keseruan selama prosesnya, ada bahagia-bahagia kecil
yang ngga akan pernah lo duga, ada senyum-senyum haru yang harus disembunyikan
selayaknya ada getir-getir halus yang meski sedikit, tapi terasa.”
Senja
memandangi Gitar dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Cinta
itu luas. Maknanya banyak. Banyak orang salah menerka cinta, makanya, prosesnya
harus panjang. Biar ngga salah.”
“Itu
kan…” Senja terbata, kehilangan suara.
“Iya,
itu kata-kata lo. Itu otaknya abis dikasih makan daging ya? Kok bisa bikin
kata-kata bagus banget gitu?”
“Lo
tau darimana?” Senja tidak menghiraukan candaan Gitar.
“Menurut
lo darimana?”
Senja
tampak berpikir sesaat, “Lo baca blog gue?”
“Blog
yang namanya lo sembunyiin itu? Yang ngga pake nama asli lo?”
“Lo
tau blog itu darimana?”
“Senja,
Senja, gue kenal lo udah lama. Masa perihal blog gitu aja gue ngga tau?”
Senja
diam. Ia tersengat begitu banyak aliran dari masa lalunya.
“Tulisan-tulisan
lo bagus. Kenapa disembunyiin?”
Tanpa
mampu Senja tahan, air mata mengalir begitu saja dari kedua matanya.
“Lo
tau darimana?” Dengan tangis tertahan, Senja menanyakan hal yang sama kepada
Gitar.
“Laptop
lo. Gue mau cari link website yang
pernah gue buka juga di laptop lo. Jadi gue buka history pencariannya. Terus malah kebuka blog. Gue ngga mikir itu
punya lo, tapi terus gue liat foto-foto hasil jepretan lo, foto temene-temen
geng lo, foto kita…” Gitar tidak berani meneruskan kata-katanya.
“Sejak
kapan?”
“6
bulan terakhir, tiap malem gue pasti buka blog itu Nja.”
“Kenapa?”
“Sekedar
meyakinkan tulisan-tulisan itu nyata. Sekedar nyari tau lo abis nge-post atau
ngga. Maaf, Nja, kalo itu bikin lo ngga nyaman. Gue mau jujur ke lo, kalo gue
udah tau blog itu. Gue udah baca semua tulisan lo. Dan yang mendorong gue untuk
bilang ini semua, ya, postingan terakhir
lo tadi malem.”
Senja
terdiam.
“Senja,
dengerin gue, mau?” Tanya Gitar begitu pelan, hampir seperti berbisik.
Senja
mengangguk perlahan.
“Senja
sepanjang pengetahuan gue itu cuma sebentar. Apalagi momen terindahnya,
hitungan menit. Abis itu gelap. Indahnya ilang. Gue ngga pernah tau bisa
ngeliat indahnya senja lebih lama sampe gue ketemu lo. Lo dateng begitu aja di
hidup gue. Bikin gue seneng sama semua perilaku lo. Meskipun emang kadang
nyebelin, tapi…rasanya gue bisa bertahan dengan semua nyebelinnya elo selama
setelah itu gue bisa denger lo ketawa.”
Air
mata Senja mengalir lagi, kali ini dengan intensitas lebih deras.
“Tulisan
lo tadi malem…percaya atau ngga, gue hampir nangis bacanya. Udah malah, udah
nangis. Tapi gue malu, jadi gue berentiin nangisnya.”
Gitar
menarik napas perlahan, “Senja, kenapa dilawan? Kenapa harus dihilangkan?”
Senja
berusaha menyelesaikan tangisannya, “Karna lo lebih dari sekedar perasaan buat
gue, Tar.”
“Dan…?”
“Ngga
ada penjelasan lain. Serumit sekaligus sesederhana itu.”
Senja
melanjutkan, “Lo ngga akan ngerti, lo ngga akan paham, tapi hadirnya lo di
hidup gue, adalah sesuatu yang sangat gue hargai. Dan gue ngga akan membiarkan
apapun ngebuat gue punya resiko untuk kehilangan lo.”
Senja
meraih tangan Gitar kemudian menggenggamnya, “Tar, makasih udah jadi pelengkap
senja bagi gue. Besok, kita lupain hari ini, ya? Gue cuma butuh alunan untuk
mewarnai langit ini, gue ngga butuh perasaan. Ya?”
Gitar
hanya bisa memandangi wajah Senja dengan raut penuh tanya, namun tak ayal Gitar
menjawab,
“Besok,
hari ini ngga akan ada.”
(source: weheartit.com)
Komentar
Posting Komentar