Rindu dan Waktu
“Tentang hujan yang selalu memberi damai tanpa terjelaskan,
Tentang laut lepas yang selalu membuatku berpikir mengenai batas,
Tentang malam pekat yang selalu menuntunku pada abadi sesaat,
Tentang ratusan bahkan ribuan angan juga kenangan,
Tentang manusia yang selalu dipenuhi oleh kecewa dan bahagia,
Tentang hati yang dibuahi harap serta mimpi,
Dan lalu—
Tentang aku, kamu, yang berkejaran dengan waktu, serta rindu. “
“Indah, Ta.”
Suara kamu lagi terngiang di
pikiranku. Saat tadi kita sedang duduk berdua di lantai 3 rumahku, menatap
langit yang sudah menjadi kebiasaan kita. Kamu secara tiba-tiba bertanya, tepat
setelah kamu melepas tautan bibir kita;
“Kalo aku lagi meluk kamu, nyium kamu, kamu mikir apa?”
Kemudian aku menuliskan puisi
itu di atas kertas selembar, dan memberikannya ke kamu.
Pikiranku melayang jauh
setiap kali kita bersama, sayang. Karna bersamamu tidak pernah bisa benar-benar
bersamamu.
“Tapi, banyak banget mikirnya. Ngga mikir sayang ke aku, gitu?”
Aku hanya tersenyum dan
menarikmu ke dalam pelukanku ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir yang
sering kali membuatku lupa tentang siapa kita.
Segala hal yang tertulis
disana justru adalah bentuk sayangku yang terbentur kenyataan di antara kita.
“Kamu dapet inspirasi nulis-nulis ginian, darimana sih, Ta?”
Kamu bertanya lagi. Iya, kamu
memang jarang bisa diam.
Aku menjelaskan seadaku, agar
kamu paham. Sebenarnya, inspirasiku kamu. Seluruh kasih sayangku untukmu, yang
hanya mampu terjelaskan oleh partikel-partikel semesta—bukan kata-kata.
Setelah penjelasan singkatku,
kamu menarik aku lagi dalam pusat bahagia yang kita ciptakan sendiri. Aku lupakan
dunia, kamu lupakan Luna.
Luna. Nama itu bergema di
hatiku.
“Ta, jelasin ke aku dong, arti puisi kamu.”
“Ah, kamu ngga bakal ngerti.”
“Dicoba dulu.”
“Itu tentang kita.”
“Apanya? Orang isinya kebanyakkan tentang hal lain.”
“Bener ya aku jelasin? Tapi kamu harus dengerin.”
“Iya.”
“Hujan yang selalu memberi
damai tanpa terjelaskan, adalah tentang bersama mu yang selalu memberikan damai
bagiku.
Laut lepas yang selalu
membuatku berpikir mengenai batas, adalah tentang kebersamaan yang sudah
seharusnya kita batasi, tidak peduli selama apa kita ingin bersama.
Malam pekat yang selalu
menuntunku pada abadi sesaat, harusnya kamu bisa menebak dengan mudah; ini
tentang kamu, yang hanya datang padaku di saat-saat tertentu.
Ratusan bahkan ribuan angan
juga kenangan, adalah tentang setiap satu kenangan tentangmu tercipta, maka
timbul ribuan anganku tentang kita—kebersamaan kita.
Manusia yang selalu dipenuhi
oleh kecewa dan bahagia, adalah tentang aku, yang merasakan keduanya dalam satu
waktu; di dalam pelukanmu.
Hati yang dibuahi harap serta
mimpi, juga tentang hatiku, yang selalu percaya setiap kamu berkata kamu
menyayangiku. Padahal nyatanya? Sayang, aku pun tau, itu hanya mimpi semata.
Yang terakhir, bukankah tidak
perlu dijelaskan? Sudah jelas, kita selalu berkejaran antara rindu dan waktu.”
Adalah apa yang ingin aku
jelaskan padamu.
Namun belum sempat
tersampaikan, sejak kamu mengangkat telfon darinya dan mengharuskan kamu pulang
malam itu.
Sayang, kita hanya si pencuri
waktu. Kapan kita akan menyadari kenyataan itu?
Bercengkrama denganmu selalu membuatku mampu lupa dengan apa yang nyata. Bercerita kepadamu adalah keharusan yang tiba-tiba kamu ciptakan. Berbagai obrolan tentang apa saja, selalu berhasil membuatku merasa bahagia. Kamu dengan keriuhanmu menanggapi aku, sementara aku dengan senyuman-senyuman kecilku menertawakan kebodohanmu.
Aroma mu masih disini, di
tempat kamu mengecup ku tadi;
“Sabar, ya, Ta. Aku sayang kamu.”
Kemudian pergi. Sementara aku tetap disini.
(soruce: weheartit.com)
Komentar
Posting Komentar