Aku Berangkat.
Dini hari, di Stasiun Jogjakarta, —
Aku terduduk di bangku yang sengaja disediakan bagi mereka
yang menunggu kereta. Memandang keremangan malam. Menanti keretaku—kami, tiba.
Stasiun malam ini cukup ramai. Ada beberapa orang yang juga
menunggu, seperti aku.
Ndu, aku ingat kamu pernah bilang bahwa kamu akan membawaku
ke sebrang pulau sana, menaiki kereta lantas menyebrangi pulau dengan perahu
besar. Biar aku bisa menikmati perjalanan. Biar aku bisa memandangi bintang.
Aku juga ingat kamu pernah bilang bahwa stasiun ini menjadi
saksi betapa kamu sangat menyayangi aku dan betapa semesta begitu mengasihi
kita.
Bertahun-tahun yang lalu, kamu pernah berjanji di stasiun
ini. Berjanji bahwa kamu akan kembali, untuk ku.
Bertahun-tahun yang lalu kamu pernah menghapus air mataku
yang berjatuhan, mengiringi bunyi
kereta yang semakin mendekat, kereta yang akan membawamu pergi menjauhi aku.
Bertahun-tahun yang
lalu, aku begitu percaya bahwa sebuah pergi diciptakan untuk
sebuah kembali.
Kamu benar, stasiun ini menjadi saksi perjalanan kita;
Bagaimana aku yang menunggu kedatangan kamu;
Bagaimana aku mengantar kamu;
Bagaimana aku mengatur degup jantungku ketika akan bertemu
denganmu dan akhirnya bisa meluapkan rindu;
Bagaimana aku duduk sendiri selepas kereta kamu berangkat
dan aku tersedu.
Kata kamu waktu itu,
“Aku pergi dan aku tau kenapa aku harus kembali. Jangan
bosan menunggu, ya, Ras. Di saat kamu menunggu, percayalah aku pun rindu.”
Bukan sebuah kebodohan ketika aku percaya, kan, Ndu?
Maka dari itu aku terus menunggu kamu. Menunggu hari
kedatanganmu. Menunggu dengan sabar, hari itu. Hari dimana aku akan turut serta
bersama kamu. Hari dimana aku bisa menikmati perjalanan di kereta dan bintang
di perahu dengan kamu. Hanya kamu.
Ndu, hari ini aku ke stasiun. Bukan untuk menunggu kamu,
bukan pula untuk mengantar kamu. Kali ini, aku yang berangkat, Ndu.
“Ras, itu kereta kita. Kamu ngelamunin apa sih?”
“Oh, iya. Ngga, tadi aku kayak ngeliat temen aku.”
“Mana?”
“Salah liat kayaknya, Dim.”
“Hmm, yaudah. Nih,keretanya
udah berhenti. Ayo mau naik kereta sekarang ngga?”
“Iya, yuk.”
Aku berjalan. Melangkah menaiki kereta. Kamu masih duduk di
bangku itu, bersama seorang perempuan dan seorang anak perempuan.
Aku tidak salah lihat,
karna hatiku bergetar sebagaimana air mukamu tersentak
ketika tanpa sengaja,
bola mata kita tertambat.
Ndu, aku berangkat.
Kamu…
Aku…
Mungkin memang belum tepat.
(source: weheartit.com)
Komentar
Posting Komentar