Berbeda, Tetap Sama.
Langit kita
berwarna sama.
Ketika matahari di depan rumahku muncul malu-malu, di depan rumahmu juga seperti itu.
Ketika matahari bersinar terik di atas kepalaku, di atas kepalamu juga pasti begitu.
Ketika hujan deras mengguyur tanah basah di sekitarku, tanah sekitarmu mungkin belum—awan berisi air belum tertiup hingga daerahmu.
Ketika matahari akhirnya tenggelam lagi hingga langitku berubah menjadi gelap, langitmu juga pasti ikut gelap—meski mungkin tidak sama pekat.
Dan ketika ribuan bintang menyinari dari kejauhan sana, aku tau di langitmu pun juga. Meski mungkin yang terlihat tidak sama.
Kita berbeda, tapi sama.
Ketika dulu kita jatuh dari sepeda, kita menangis, aku mungkin berdarah di lutut, sementara kamu berdarah di lengan. Berbeda luka, tapi menghasilkan respon yang sama. Kekhawatiran orang di sekeliling kita. Samar-samar, kamu ingatkan? Meski mungkin lupa butuh berapa lama untuk menyembukan luka, aku juga lupa.
Ketika dulu kita di bangku sekolah, kita belajar bersama. Berbeda angka di rapot tentu saja. Tapi masih menghasilkan respon yang sama, entah teguran orang tua, atau justru ungkapan bangga.
Kamu pernah merasakan? Aku juga.
Kita berbeda, tapi sama.
Itu kita.
Aku diajarkan berdoa pada Tuhan dengan menengadahkan kedua tangan ku ke atas, sementara kamu mengatupkan kedua tangan. Mata ku terpejam, kamu juga.
Kamu berdoa apa?
Aku mendoakan yang baik-baik. Kamu juga?
Berarti kita sama.
Ibadahku dengan meluangkan waktu paling banyak 10 menit dengan hitungan 5 kali sehari. Kamu tidak?
Ibadahmu dengan meluangkan waktu satu hari, lebih dari 10 menit. Kita berbeda?
Belum tentu.
Aku melantunkan doa dengan nada, dinamakan shalawat.
Kamu melantunkan syukur dengan nada, dinamakan pujian.
Bukankah, syukur adalah doa dan doa adalah syukur?
Beda nama, beda cara.
Apakah berarti benar-benar berbeda?
Mari jawab masing-masing di hati kita bersama,.
Itu agama.
Yang diajarkan padaku dulu, beragam dan tidak seragam adalah indah.
Itulah kenapa Bhinneka Tunggal Ika tercipta.
Itulah kenapa Pancasila menjadi dasar Negara.
Lantas, mengapa kini kita takut pada yang berbeda dengan kita?
Kebohongankah yang diajarkan padaku selama ini?
Ibu Pertiwi sedih, ia berbisik lirih padaku.
Juga padamu.
Tidakkah kamu mendengar?
Coba diam sejenak.
Ia berbisik dalam kalbu, dalam benak, dalam diam mu.
Tolong, rintihnya.
Selamatkan Indonesiaku,
Itu Negara.
Ketika matahari di depan rumahku muncul malu-malu, di depan rumahmu juga seperti itu.
Ketika matahari bersinar terik di atas kepalaku, di atas kepalamu juga pasti begitu.
Ketika hujan deras mengguyur tanah basah di sekitarku, tanah sekitarmu mungkin belum—awan berisi air belum tertiup hingga daerahmu.
Ketika matahari akhirnya tenggelam lagi hingga langitku berubah menjadi gelap, langitmu juga pasti ikut gelap—meski mungkin tidak sama pekat.
Dan ketika ribuan bintang menyinari dari kejauhan sana, aku tau di langitmu pun juga. Meski mungkin yang terlihat tidak sama.
Kita berbeda, tapi sama.
Itu langit.
Ketika dulu kita
masih bayi, jerit tangis kita sama. Berbeda satu atau dua hela napas, tapi
menghasilkan respon yang sama. Orang tua tergopoh-gopoh menghampiri kita. Kamu lupa?
Aku juga sebenarnya iya, hanya dengar dari cerita.
Ketika dulu kita jatuh dari sepeda, kita menangis, aku mungkin berdarah di lutut, sementara kamu berdarah di lengan. Berbeda luka, tapi menghasilkan respon yang sama. Kekhawatiran orang di sekeliling kita. Samar-samar, kamu ingatkan? Meski mungkin lupa butuh berapa lama untuk menyembukan luka, aku juga lupa.
Ketika dulu kita di bangku sekolah, kita belajar bersama. Berbeda angka di rapot tentu saja. Tapi masih menghasilkan respon yang sama, entah teguran orang tua, atau justru ungkapan bangga.
Kamu pernah merasakan? Aku juga.
Kita berbeda, tapi sama.
Itu kita.
Aku diajarkan berdoa pada Tuhan dengan menengadahkan kedua tangan ku ke atas, sementara kamu mengatupkan kedua tangan. Mata ku terpejam, kamu juga.
Kamu berdoa apa?
Aku mendoakan yang baik-baik. Kamu juga?
Berarti kita sama.
Ibadahku dengan meluangkan waktu paling banyak 10 menit dengan hitungan 5 kali sehari. Kamu tidak?
Ibadahmu dengan meluangkan waktu satu hari, lebih dari 10 menit. Kita berbeda?
Belum tentu.
Aku melantunkan doa dengan nada, dinamakan shalawat.
Kamu melantunkan syukur dengan nada, dinamakan pujian.
Bukankah, syukur adalah doa dan doa adalah syukur?
Beda nama, beda cara.
Apakah berarti benar-benar berbeda?
Mari jawab masing-masing di hati kita bersama,.
Itu agama.
Yang diajarkan padaku dulu, beragam dan tidak seragam adalah indah.
Itulah kenapa Bhinneka Tunggal Ika tercipta.
Itulah kenapa Pancasila menjadi dasar Negara.
Lantas, mengapa kini kita takut pada yang berbeda dengan kita?
Kebohongankah yang diajarkan padaku selama ini?
Ibu Pertiwi sedih, ia berbisik lirih padaku.
Juga padamu.
Tidakkah kamu mendengar?
Coba diam sejenak.
Ia berbisik dalam kalbu, dalam benak, dalam diam mu.
Tolong, rintihnya.
Selamatkan Indonesiaku,
—Indonesiamu.
Itu Negara.
(source: padhangwengi)
Komentar
Posting Komentar