Bersama, Meski Tidak Berdua
“Apa kabar, Ra?”
Lira tersenyum mendengar pertanyaan Pram.
“Setelah 3 tahun, yang kamu pertama kali tanya, apa kabar, Pram?”
Air muka Pram terkejut mendengar pertanyaan retoris Lira.
“Aku baik. Kalau memang pertanyaanmu butuh jawaban. Kamu sendiri gimana?”
Belum benar-benar sembuh dari keterkejutannya, Pram memaksakan senyum, “Aku
juga baik.”
“Permisi, satu hot green tea?”
Seorang pramusaji menghampiri meja.
“Iya, mas. Disini.” Lira menunjuk meja yang kosong di hadapannya,
“Makasih.” Tambahnya lagi setelah pramusaji itu meletakkan minuman hangatnya.
“Green tea? Sejak kapan kamu suka
teh yang kata kamu rasa daun itu?”
“Hmm, sejak 2 tahun lalu kayaknya.”
“Emang udah ngga kayak daun rasanya sekarang?” Pram meledek Lira.
“Masih! Aku cuma minum green tea disini
kok. Di tempat lain ngga.”
“Oh gitu.”
Suasanya yang sudah mencair, kembali canggung. Pram menghirup kopi
panasnya, berharap aroma kopi yang masih menguar mampu mengurangi rasa
gugupnya. Yang kemudian membuat Lira teringat sesuatu yang membuatnya terkejut
di awal kedatangannya.
“Black coffee? Waw, Pram, ada
juga yang berubah dari kamu.”
“Not too often. Saat-saat
tertentu aja.”
Hening kembali menyapa keduanya.
“Tadi kamu darimana dulu?”
“Dari rumah kok. Tapi macet banget. Maaf ya jadi telat. Kamu nunggu lama
tadi?”
Pram menggeleng cepat, “Ngga, kok. Kopi aku baru sampe meja pas kamu
dateng.”
“Kamu sendiri? Langsung dari rumah?”
“Iya, Ra.”
“So, what’s going on? Ada apa?
Kok setelah 3 tahun kamu hilang, tiba-tiba sms ajak ketemu? Aku sampe mikir
lagi ditipu.”
“Hahahaha, serem juga kalo penipunya tau aku.”
“Siapa yang ngga kenal kamu dalam hidup aku?”
Pertanyaan Lira lagi-lagi menyentak Pram. Lira tersenyum, “Ada apa, Pram?”
“Aku...I’m getting married, Ra.”
Kali ini air muka Lira yang berubah, terkejut.
“Wow, it’s a big news! Selamat
Pram. Kapan?”
“2 minggu lagi. Aku harap kamu bisa dateng.”
“2 minggu lagi? Hmm kayaknya aku belum ada acara. Aku pasti dateng. Selamat
sekali lagi!”
Tanpa sadar Lira mengenggam tangan Pram yang tergeletak di atas meja. Ketika
melihat wajah Pram yang agak terkejut, baru ia sadar tindakannya sudah terlewat
batas.
“Eh, sori, Pram. Aku ngga sengaja.” Ujarnya sambil menarik lagi tangannya,
namun justru Pram tahan.
“Ra, there’s something i want to tell
you.”
Lira masih memandangi tangannya yang kini digenggam Pram penuh. Rasa hangat
itu tanpa mampu ditahan mengaliri hatinya.
“Go ahead, tell me.”
“Mungkin lebih tepatnya, aku mau minta maaf. I know i’m wrong.”
“Kita lagi bahas kejadian 3 tahun lalu?”
Pram menganggukkan kepala.
“Kondisiku saat itu ngga memungkinkan, Ra. Perusahaan Papahku hampir
bangkrut, aku kerja siang-malem untuk nyelamatin perusahaan itu. Kondisi
Papahku sendiri, semakin hari semakin buruk. Aku harus menguatkan Mamah aku,
adik-adik aku. Sampe akhirnya perusahaan Papahku kembali normal, aku perlu
waktu satu tahun lebih—hampir dua tahun untuk mengembalikan keadaan. Tapi
Papahku...dia ngga tertolong, Ra.”
“Keluarga ku yang keadaan emosinya udah agak stabil, kembali berantakan,
Ra. Kita semua kaget, karna kondisi Papah udah stabil. Masa krisisnya lewat,
tapi justru Papah ku diambil.”
“Kenapa kamu ngga pernah ceritain itu semua ke aku?” Akhirnya Lira
menemukan suaranya.
“Aku...ngga bisa. Aku ngga mau jadi beban untuk kamu. Aku ngga bisa, Ra.
Akhirnya aku memilih mundur perlahan karna aku sendiri kesulitan mengatur waktu
ku. Aku pikir itu semua akan segera berlalu dan aku bisa balik ke kamu. Tapi
bahkan sampai hari ini, aku harus memaksa diri aku untuk mampu menemui kamu.”
“Aku kaget tiba-tiba dapet kabar Om meninggal dari sahabat kamu. Aku ngga
pernah tau Om sakit, kok kata sahabat kamu malah udah sakit lama? Aku pengen
samperin kamu pas aku kerumah untuk nyelawat, tapi kamu terlalu sibuk hari itu.
Aku coba cari waktu yang tepat untuk menghubungi kamu, tapi sms aku udah ngga
pernah kamu balas. Satu pun.”
“Iya, Ra. Aku salah. Aku yang ninggalin kamu tanpa alasan.”
“Pram, semuanya udah berlalu. Aku bingung, sedih, marah. Aku bingung, aku
salah apa, kok tiba-tiba kamu menjauh dan lama-lama hilang. Aku sedih kenapa
kamu ngga menjelaskan apa-apa ke aku. Dan aku marah...aku marah karna kamu ngga
pernah menceritakan apapun ke aku seakan-akan ini ngga bisa kamu jadikan tempat
kamu berbagi. Aku udah tau itu semua dari Reski. Pulang dari pemakaman Papah
kamu, dia cerita semuanya. Setelah berbulan-bulan aku bingung sendirian,
akhirnya aku mendapatkan penjelasan. Yang sayangnya, bukan dari kamu.”
“Setelah Reski cerita semuanya, aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri.
Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu ngga pernah bisa hilang dari pikiran
terliarku.”
“Aku selalu bertanya-tanya sendiri, apa aku yang terlalu ngga bisa
dijadikan tempat berbagi? Apa aku segitu ngga peduli sama kondisi kamu? Apa aku
yang ngga sepenting itu untuk kamu? Apa aku emang pantes untuk ditinggalin gitu
aja? Pertanyaan-pertanyaan itu memakan aku hidup-hidup setiap malam, Pram.”
“Bukan, bukan kamu. Tapi aku. Aku yang terlalu egois, aku selalu berharap
kamu ngerti tanpa harus aku kasih tau. Aku harap kamu mau menunggu tanpa perlu
aku minta. Aku minta maaf, Ra.”
Lira menghela napas dalam-dalam, “Semuanya sekarang udah lewat, Pram.
Akhirnya aku bisa berdamai dengan diriku sendiri, dengan masa lalu ku, dengan
bayangan kamu. So everything is fine
now.”
Tangan Lira yang yang sedang digenggam Pram ditarik, lalu gantian menggenggam
tangan Pram, dan membelainya lembut, “We’re
fine now.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Maaf aku baru bisa nemuin kamu sekarang.”
“Aku yang makasih karna kamu masih mau menjelaskan itu semua ke aku.
Sekaligus menjadi jawaban untuk semua pertanyaanku.”
“Aku...aku sayang kamu, Ra. Setahun lalu aku mau cari kamu dan ingin
memperbaiki semuanya. Tapi Reski bilang kamu udah milik orang lain.”
Sebelum menanggapi Pram, Lira tersenyum lagi, “Setahun yang lalu, disaat
aku sedang jatuh-jatuhnya, ada yang membantu aku berdiri perlahan, Pram. Dia
yang mengajarkan aku untuk melihat kehidupan baru. Dia yang kemudian
menyadarkan aku kehilangan satu orang bukan berarti hidup aku akan hancur
sepenuhnya. Dia menerima aku meskipun dia tau aku belum benar-benar melupakan kamu.
Dia bantu aku untuk kembali tertawa ketika aku sudah terlalu akrab dengan air
mata. Dia menyayangiku bahkan di saat aku belum bisa memberinya apa-apa.”
“You deserve that kind of treatment,
Ra. You’re that special.”
“Yang special dia, Pram. Bukan
aku. He found me and i’m very glad. Aku
belajar mencintai dari titik 0, dan dia ada disana untuk membantuku kembali
percaya.”
Pram tersenyum mendengar ucapan Lira. Gadis ini masih sama. Selembut dan
setegar yang Pram kenal. Rasa itu pun masih sama. Tidak pernah berubah.
“Pram, 2 minggu lagi kamu nikah. Aku seneng kamu berani mengambil keputusan
itu. Aku seneng akhirnya kamu menemukan bahagia kamu. Aku...”
Tiba-tiba Lira merasakan air matanya hampir jatuh, “Aku senang kita
akhirnya bisa bahagia, bersama, meski tidak berdua.”
Air mata yang sedari tadi ditahannya keluar juga.
“Hal-hal tentang kamu akan selalu menjadi hal indah untukku, Pram. Terima
kasih sudah mengajarkan aku banyak hal, tentang gelap, tentang putus asa,
tentang tidak tau arah dan bingung harus melangkah, hingga tentang berdamai
dengan rasaku sendiri.”
“Aku tau mungkin ini udah ngga boleh aku ungkapkan tapi, i love you, Ra.”
“I love you too, Pram. Pram
Aditya.”
Hati Pram bergetar mendengar nama lengkapnya disebut oleh Lira.
“Setelah ini kita bisa berteman?”
“Tentu. Tapi akan lebih baik ngga. Dua orang yang pernah dan masih saling
menyayangi, ngga seharusnya menghabiskan waktu bersama meski dengan label
pertemanan, kan? Kamu bisa bahagia tanpa aku, aku pun begitu. Kita kembali ke
hidup masing-masing, ya? Tapi di hari bahagia kamu aku pasti dateng.”
“Makasih, Ra. Nanti undangan buat kamu sama...”
“Bagas. Namanya Bagas, Pram.”
“Iya, undangan buat kamu sama Bagas aku titip di Reski, ya.”
“Okay.”
“Kamu mau tau satu rahasia ngga?”
“Apa?”
“Aku minum black coffee kalo lagi
inget kamu doang. Dan hari ini aku ngerasa harus minum ini, kayaknya rasa
pahitnya bisa nutupin rasa gugup aku buat ketemu kamu!”
“Hahahaha, kalo aku, bukan dengan green
tea aku mengingat kamu.”
“Terus dengan?”
“Membisikkan namamu di sepertiga malamku, Pram. Agar kita bisa terus
bahagia bersama, meski jika kita tidak berdua.”
Pram hanya bisa terdiam. Lagi-lagi menggenggam tangan Lira kuat-kuat.
Ia tau ia akan baik-baik saja. Ia tau ia tidak kehilangan Lira, begitupun
Lira yang tidak akan pernah kehilangan Pram.
Mereka sama-sama tau mereka bukannya sedang berpisah, hanya saja, hidup
memang selalu punya cara unik dalam menyatukan.
Mereka percaya justru mereka tengah disatukan, dalam rindu dengan ikhlas
terdalam.
(source: weheartit.com)
Komentar
Posting Komentar