Tertawa Sendu
Rintik-rintik hujan yang
agak membasahi tubuhku kini membuatku berlari kecil untuk segera sampai di
rumah. Sesampai di rumah aku segera membersihkan diri lantas menghangatkan
tubuh dengan coklat panas kesukaanku dan masuk ke dalam selimut dengan warna
faforitku.
Dua kali aku sesap coklat
panasku ini, tiba-tiba aku tersentak kala bayang wajahmu mampir di pikirku. Sayang,
malam itu kita tertawa seru di pelataran toko yang sudah tutup. Menertawai hujan
yang tidak kunjung berhenti, menertawai semua omonganmu yang selalu membuatku
tertawa tanpa henti.
“Di, kamu pengen punya istri yang kayak gimana?”
“Ih, kok kamu nanyanya gitu? Udah siap emang jadi istri
aku?” Kamu bertanya balik sambil mengusap kepalaku lembut.
“Nanya ajaaa.”
“Hmm, aku mau yang bisa ada terus untuk aku.”
Percakapan selanjutnya
tidak ingin aku ingat, terlalu memalukan.
Namun kalimatmu yang itu,
selalu terngiang di kepalaku. Kamu benar-benar menjadikan aku menjadi ada terus
untukmu. Pernahkah kamu sadari itu?
Kamu menarikku ke dalam
duniamu. Kamu menjadikan aku seperti yang kamu mau. Kamu memotong jalur
teman-temanku. Kamu hanya menjadikan aku sebagai milikmu. Seutuhnya,
sepenuhnya. Aku senang menjadi milikmu. Sungguh.
Namun semuanya menjadi
terasa salah ketika perlahan aku mampu merasakan aku tidak lagi menjadi diriku
sendiri.
Sayang, aku mulai tidak
berani mengemukakan pendapatku ketika seluruh pendapatku kamu bantah, atau
abaikan. Aku mulai tidak berani bercerita tentang apa yang aku sukai ketika
apapun yang aku sukai itu selalu kamu banding-bandingkan dengan kesukaanmu,
yang menurutmu lebih baik dari kesukaanku. Aku mulai tidak berani menjelaskan
bagaimana perasaanku ketika kamu selalu menomorduakan itu. Sementara nomor
satunya selalu kamu, kamu, dan kamu. Aku juga mulai tidak berani mengungkap
serta menuangkan ekspresiku ketika kamu hanya menjadikan itu sebagai lelucon
untukmu, tanpa kamu tanggapi penuh. Aku bahkan mulai mengganti coklat panasku
dengan kopi hitam kesukaanmu. Pernahkah
kamu menyadarinya?
Aku tau ada yang salah
ketika mendadak seluruh temanku hilang. Ketika aku mulai tidak bisa menjangkau
mereka yang rasanya semakin jauh—entah aku yang menjauh, atau mereka. Aku tau
ada yang salah ketika aku mulai kesulitan menata hidupku sendiri tanpa campur
tanganmu dalam hidupku. Aku tau ada yang salah ketika rasanya kamu memaksa
untuk menjadi yang nomor satu untukku.
Maka, cukup. Aku pergi
darimu.
Beratus kali kamu mencoba
menghubungiku, beratus kali itu pula aku berusaha menahan diri untuk tidak menjawab
telfon atau membalas pesan singkatmu.
Berpuluh kali kamu datang
kerumahku, berpuluh kali pula aku menahan kaki agar tidak berlari membukakan
pintu untukmu.
Beribu kali kamu
menanyakan kabarku dan mengeluh rindu, beribu kali pula aku menjaga hatiku agar
tidak menyerah lantas kabur ke pelukmu.
Aku menyayangimu, entah,
aku rasa kamu tau itu.
Apakah menjadikanku
milikmu, belum cukup untukmu?
Haruskah kamu menjadi
satu-satunya pusat duniaku?
Apakah dengan memberikan
segalaku padamu, belum juga cukup bagimu?
Haruskah kamu masuk ke
seluruh ruang dalam jiwaku?
Coklat panasku sudah
hampir habis.
Sayang, sudah jelas dan
pasti, bahwa, aku merindukanmu.
Namun bagaimana mungkin
aku mampu menghabiskan hidup,
Bersama seseorang yang
menghargaiku saja ia tidak mampu?
Logika ku memilih
bekerja, memadamkan percik api di hatiku.
Hujan sudah berhenti.
Waktunya aku bermain di
alam mimpi.
Oh, ya, dan satu lagi,
Berhenti mengirimkanku
lembaran puisi,
Juga bungkusan kopi.
Aku tidak pernah berani
mengatakan ini,
Namun,
Aku tidak suka rima dan
kiasanmu,
Juga kopi hitam
faforitmu.
Sudah, jangan paksa aku lagi.
Malam ini aku tertawa
sendu,
Menertawai aku,
Yang menjatuhi cinta pada satu sosok dipenuhi pilu,
Tanpa berpikir mengargai pasangan itu perlu.
(source: weheartit.com)
Komentar
Posting Komentar