The Woman


Siang ini aku tertawa melihat sebuah pesan yang datang bersamaan dengan sebuah bucket bunga. Isi pesannya,

Don’t leave.

Without you,

I can’t live.”

Wow. I should be very happy, right? Semua teman kantorku, terutama wanita, melirik ku dengan pandangan iri.

But, am i happy?

Justru aku geli. Geli membayangkan bahwa tanpa aku dia benar-benar tidak bisa hidup. Memangnya, aku ini jantung yang memompa aliran darahnya? Atau justru aku darah yang mengaliri seluruh tubuhnya? Atau aku ini partikel udara yang ia butuhkan agar mampu bernapas?

There was time when i’d very glad and happy everytime i get surprise like this. Who doesnt love surprise, anyway?

Tapi sekarang rasanya tidak. Terlalu tidak masuk akal.

Lagian, dia kayaknya tau mau aku putusin minggu depan ya? Hahaha.

***

“Terus dia ngirimin gue bunga ke kantor, Kal. Hahahaha. Terus semua temen seruangan gue langsung heboh, deh, nanya itu dari siapa dan sibuk ngeluh ngiri. Padahal guenya mah biasa aja. Malah rasanya pengen gue bilang ‘tuh, bawa aja bunganya.’ Tapi kan ngga mungkin, kan, Kal? Jadi gue senyum-senyum sok happy aja, deh.”

“Mana sekarang bunganya?”

“Tuh, di mobil. Mau?”

“Ogah!”

“Hahahaha, dia kayaknya tau deh gue mau putusin minggu depan.”

“Putus? Kenapa lagi sekarang, Ras?”

A way too clingy. I’m here to love, not to babysit someone.

“Kemaren ada yang cuek, lo bilang terlalu cuek. Sekarang, malah terlalu clingy. Bukan mereka, Ras, yang salah. Just admit it, elo kan yang emang ngga pernah pake hati pacarannya?”

“Kal, kita udah bahas ini berapa kali sih? I know what i’m doing.”

Then you know what you’re doing are hurting others, right? Terus kenapa dilanjut terus?”

“Gue ngga asal nyakitin, kok. Kalo emang dia cowok baik-baik mah, I wont let him play.”

“Ya, oke, terserah Laras.” Raskal memilih pasrah, membiarkan sahabat sepanjang masanya menang perdebatan malam ini.

“Lo sendiri, gimana? Udah jadi sama Putri?”

Raskal menggelengkan kepala, “Ngga, i decided to back off.”

“Hah? Kenapa? Dia baik loh, Kal. I mean it, she is literally good. Beda sama cewek-cewek yang b”

“And that’s why.”

“Halah, sok nyeramahin gue pacaran ngga pake hati. Sendirinya juga. Bullshit lo.”

“Hahahahahahaha, ngga gitu, Ras. Gue pake hati kok ke dia, tapi belom bisa sepenuhnya aja.”

“Masih nyangkut di Clara?”

Masih nyangkut di elo! Hati Raskal berbisik sendiri.

There’s nothing to do with Clara.” Raskal memilih membungkam bisikan hatinya.

Okay, okay.” Laras memilih tidak memperpanjang obrolan tentang Clara.

***

Malam ini aku tidak bisa tidur. Omongan Raskal sebelum tadi kita sama-sama pulang terus terngiang di kepalaku.

“Why don’t you try to make peace with your past and start to loving someone with your heart?”

Tiba-tiba handphone ku berdering, siapa ya malem-malem gini?

Aku menghela napas malas ketika tau siapa yang menelfon, Aldi. Pacarku yang tadi siang kirim bunga.

“Halo.”

“Hai, sayang. Kamu belom bobo?”

“Nih, mau tidur terus kamu telfon. Ada apa?”

“Ngga apa-apa, just to make sure that you’re home.”

“Udah kok, dari tadi. Kamu dimana?”

“Baru aja sampe rumah. Tadi jadi ketemu Raskal?”

“Jadi.”

“Oh, okay.”

“Aku tidur ya?”

“Besok ketemu aku?”

“Hmm, boleh.”

“Aku jemput?”

“Ngga usah, ketemu langsung disana aja.”

“Jemput aja, ya? Biar pulangnya juga sama aku.”

“Muter-muter kamunya nanti. Lagian macet juga.”

“Ngga apa-apa.”

“Ngga perlu, Di. Aku bisa kok sendiri.”

But you are a woman. Ngga baik perempuan nyetir sendiri malem-malem.”

Aku tersenyum sesaat mendengar jawabannya, memang selama dia belum jadi pacarku, aku ngga nyetir sendiri malem-malem?

I’m a woman and that’s why you dont need to pick me up then take me home.

“Ras, tapi, kan...”

“Kamu mau ketemu aku ngga?”

“Mau.”

“Ketemu disana, jam 8. Kalo telat kamu utang 8 es krim ke aku!”

“Yaudah, aku telat-telatin biar kamu gendut makan 8 es krim.”

“Hahahahaha, I’ll see you tomorrow, sayang.”

“Good night, Ras.”

“Waalaikumsalam!”

Klik. Aku menutup telfon.

Well, he’s a good man, actually. A very good man, if i can say. I mean, at least, he can treat a woman. But are being good enough to win my heart? Let universe tells.

Ketika aku memejamkan mata lagi-lagi omongan Raskal terngiang di kepalaku. Ah, kenapa juga sih Raskal harus ngomong kayak gitu? Malah ngingetin aku sama seseorang yang harusnya udah dari dulu aku lupakan.

Namanya Gema.

Dia adalah sesosok laki-laki yang begitu baik, yang mampu membuatku jatuh cinta tanpa usaha. Dulu aku adalah perempuan yang begitu mudah dalam hal jatuh cinta. Dulu aku begitu percaya pada kata selamanya.

Dulu aku begitu naive, bodoh.

Long story short, aku berpisah dengan Gema dan hampir menjadi gila. Jika bukan karna Raskal—dia adalah temanku dari SMP—dan sahabat-sahabatku yang lain, mungkin aku sudah menjadi pengkonsumsi tetap anti-depressant.

Hingga akhirnya aku bisa berdiri lagi dan mampu menjalani hidup seperti biasa, adalah sesuatu yang aku perjuangkan habis-habisan. Maka dari sejak itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membiarkan orang lain membuatku merasakan sakit lagi, aku tidak akan membiarkan diriku jatuh ke lubang yang sama lagi.

Caranya?

I use logic more than i use heart. Perbandingannya 95 dan 5 persen. 95% goes to my logic, and the rest goes to the (pathetic) heart.

Aku tidak akan pernah membiarkan diriku tergantung lagi pada orang lain, kecuali Raskal. Raskal tidak termasuk dalam kategori ‘orang lain’.

Aku tidak lagi membiarkan diriku bahagia karna ucapan manis seseorang, aku tidak pernah membiarkan diriku berbunga-bunga terlalu lama oleh satu orang. So when they leave, i’d still be fine. Meski sejauh ini selalu aku yang pergi lebih dulu.

Raskal berulang kali mengingatkan aku agar membiarkan diri ku jatuh cinta. Belajar lagi mengenal percaya. Tapi tidak, aku tidak butuh cinta.

Toh, tanpa harus mencintai orang lain aku sudah cukup bahagia. Hariku sudah cukup lengkap.

So what’s the point of giving your heart to someone you know he can break it anytime he wants?

It sounds pessimist, well, I am.

Jadi, jika masih ada yang berpikir semua perempuan menggunakan hatinya dan mudah dibodoh-bodohi, feel free to meeting them with me.

Handphone ku berdering lagi, aku hampir memencet tombol ‘decline’ jika tidak melihat siapa penelfonnya.

Raskal.

Hmm, sudah ribuan kali telfonnya masuk ke handphone ku, namun masih saja menimbulkan gelenyar aneh yang sama.


­—Laras.



(source: weheartit.com)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

Bertemu.

A Chapter.