Perjalanan Pulang


Malam ini, di perjalanan pulang.

Pulang dengan ojek online seperti biasa. Yang berbeda, aku melewati sebuah jalan yang menjejak di pikiran.

Adalah jalan ketika bahagia masih milik kita,

Adalah jalan ketika suara tawa menemani perjalanan kita.

Awalnya aku tidak begitu yakin dengan jalan itu, toh sudah lewat beberapa tahun lalu.

Hingga aku menemukan sebuah pertigaan, yang biasanya kita isi dengan perbincangan,

“Oh, gue pernah kesini. Beli ayam.”
“Sama siapa?”
“Sama anak-anak kampus.”
Atau,
“Ini ke kanan apa kiri, deh? Lupa gue.”
“Lurus! Kalo ke kiri, kan, tempat beli ayam.”
“Lah, kok tau beli ayam disitu?”
“Kan pernah cerita.”

Kemudian,

Aku melewati sebuah papan jalan, ‘selamat jalan, terima kasih’ begitu katanya.
Ingin aku bisikkan padamu kata-kata itu, rasanya.

Tidak lama, aku melewati lampu lalu lintas. Aku harus berhenti, karna lampu merah. Lalu ku ingat jika bersama mu maka kita tidak akan berhenti begini, kita akan memotong jalan yang memiliki banyak sekali polisi tidur.

“Yah, kena polisi tidurnya. Lo, sih, gendut.”

Begitu pasti katamu jika motormu mengeluarkan bunyi aneh yang beberapa kali justru mengagetkanku, karna bagian bawah motor yang menyentuh polisi tidur yang begitu tinggi itu. Kemudian di hari berikutnya, motormu tidak berbunyi,

“Yes! Ngga bunyi, berarti gue ngga gendut.”
“Bukan! Soalnya gue abis servis motor, kan, kemarin.”
“Ih, mana ngaruh!”
“Ngaruh.”

Jika tidak bertengkar tentang polisi tidur, kita tertawa terlalu keras, hingga,

“Sst!” Tawamu berhenti tiba-tiba,
“Kenapa?’
“Itu orang-orang lagi pada solat!”

Ternyata, kita melewati sebuah masjid.

Sejak saat itu, kala kita melewati jalan itu, aku akan berusaha agar motormu tidak berbunyi, dan suaraku, maupun suaramu, akan menjadi bisikan.

Lampu merah sudah berganti, sepeda motor ini akhirnya ikut memadati jalan raya di depannya. Jika denganmu, di terowongan, di kelokan yang kini sedang ditutup, biasanya kita berhenti bicara. Karna desing motor terlalu ribut.

Namun tidak pada sore itu,

“Gue mau ngambek sama lo.”
“Loh, kenapa? Kok diajak bareng mau, tapi ngambek?”
“Abis, semalem chat gue ngga dibales.”
“Itu gue udah tidur, gue baru baca tadi pagi.”
“Alesan.”
“Beneran. Terus pas di jalan ke kampus, gue bikin dongengnya, deh. Mau dengerin ngga?”
“Beneran bikin?”
“Benerannn. Judulnya Pangeran Wortel dan (maaf, aku lupa nama salah satu tokoh buatanmu).”
“Waah, apa ceritanya?”

Lalu kamu mulai mendongengiku dengan dongeng buatanmu. Layaknya beberapa malam sebelum sore itu. Dan beberapa malam setelah sore itu.

Kemudian aku sampai di lampu merah J, lampu merah yang pernah menjadi alasan untukmu mengajakku pulang bersama,

“Hari ini lo balik ke C apa F?”
“Ke C, kenapa?”
“Nah, bagus! Pulang sama gue aja. Temenin pas melewati macetnya lampu merah J.”
“Loh, lo aja ngga di kampus sekarang.”
“Iyaa, ini mau ke kampus kok. Kan latian futsal. Mandi bentar, ya.”
“Ngga ada latian futsal.”
“Iya, nih, baru baca gue. Gue udah selesai mandi lagi. Tetep ke kampus, deh. Tunggu, ya.”

Padahal, lampu merah ini tidak terlalu macet. Bahkan, lebih lama menunggu mu datang, dibanding perjalanan pulang dari kampus hingga rumahku, yang berarti melewati lampu lalu lintas di sini.

Melewati lampu merah, aku memasuki jalan kecil, yang ketika aku melewati jalan ini kemarin dulu, ada suaramu yang berkata,

“Lo jangan gampang percaya cowok.”
“Cowok kenapa jahat banget, ya?”
“Iya, emang. Makanya, jangan gampang percaya sama cowok, ya!”

Hmm, lalu, salahkah aku yang pernah mempercayaimu?

Ketika melewati rel kereta, aku berkata,

“Ini SD gue!”
“Iya, lo udah cerita ke gue 4x.”
“4x? Emang iya? Hahahaha.”

Wah, sejak kapan kamu menjadi pencatat ucapanku?

Di beberapa minggu berikutnya aku sengaja,

“Ini SD gue!”
“Iya, lo udah pernah cerita.”
“Ini yang keberapa kali?”
“5x.”

Aku sengaja. Ingin melihat apakah iya kamu benar mengingat ucapanku. Kenyataannya, iya. Persis setelah kamu bilang,

“5x.”

Dengan nada malasmu, ada yang menghangat di dalam sini, meski segera ku sangkal dengan jutaan logika.

300meter dari rel kereta, ada 2 kenangan yang berbeda. Yang pertama, aku bersama ojek online juga, mendapat pesan online dari mu,

“Aduh, bosen nebak-nebak, pengennya langsung nembak aja gitu.”

Hatiku ketar-ketir tidak karuan setelah membacanya. Aku tau ada yang salah. Aku tau ada yang tidak sesuai rencana.

Kemudian beberapa bulan setelahnya, kali itu aku bersamamu, persis di jalan yang sama,

“Aduh, pegel.”
“Apa?”
“Pegel.”
“Gue paling bete, deh, ada yang oang dibonceng terus ngeluh pegel. Ngga mikirin yang bawa motor, apa?”
“Aduh, pegel, pegel, pegel, pegel!”
“Ye sampis.”
“Mas, pijitin, ya? Pegel banget, nih, ya ampun.”
“Bodo amat. Suka-suka lo.”
“HAHAHAHAHA!”

Aku tertawa keras sekali hingga membuat pengendara di sebelah kita menoleh,

“Aduh, malu diliatin orang!!”
“HAHAHAHA! Makanya, jangan cacat-cacat banget jadi orang.”

Masih di jalan yang sama, ada sebuah salon perempuan yang di depannya ada kafe kecil bagi yang menunggu.

Aku pernah, berkata,
“Cobain itu, yuk! Nanti gue hairspa, terus lo tunggu di kafenya. Atau, ya, kita di kafenya aja. Lucu kafenya.”
“Ga.”

Seperti biasa, ‘iya’ tidak tercipta untukku, kan?

Lalu beberapa minggu berikutnya, ketika kita melewati kafe yang sama,

“Mau hairspa disituuu. Mau dipijit, capek banget hari ini.”
“Terus gue kemanaaa?”
“Di kafenya aja. Pas kaan, lo tadi katanya laper.”
“Beneran mau?”

Aku menganggukkan kepala, lalu kamu bersiap memutar karna salon&kafe tersebut sudah terlewat, tapi,

“Eeh, ngga jadi, deh.”
“Loh, kenapa?”
“Kasian elo nunggu, lama. Udah malem lagian.”
“Ngga jadi, nih? Kalo jadi gue mau muter.”
“Ngga usah. Makan deket rumah gue aja.”

Mungkin, kenapa aku bisa percaya denganmu, karna kamu tidak pernah bertele-tele denganku. Iya ku kamu artikan iya. Tidak ku kamu artikan tidak. Begitu pun sebaliknya. Sesederhana itu komunikasi di antara kita.

Lalu di ujung jalan tersebut, pengemudi ojek online ku membelokkan motor ke kiri. Jalanan ini 
sempit sekali. Aku pernah bercerita,

“Disini gue pernah nyenggol motor lagi parkir! Tapi kayaknya ngga ada yang sadar.”
“Iya, lo udah cerita 3x.”

Aku tidak menceritakan hal yang sama, meski sudah beberapa minggu lewat. Aku sudah percaya, cerita-ceritaku benar-benar kamu ingat.

Di malam yang lain, pernah,

“Tau ngga, kemarin si A sama si B abis dari Z?”
“Tau.”
“Kapan-kapan, kesitu yuk?”
“Bener?”
“Iya.”

Sayang, ‘kapan-kapan’ mu itu, mungkin hanya sebatas pada angan.

Atau,

“Udah nonton animer yang gue suruh nonton belom?”
“Belom. Gamau ah.”
“Ih! Ceritanya bagus tau, sedih banget gitu. Gue aja hampir nangis nontonnya.”
“Emang udah nangis kali?”
“Iya, sih, udah.”
“Hahahaha, dasar!”
“Nonton makanyaaa.”
“Ngga, ah. Gue ngga sukaa.”
“Ih, gue tuh cuma pengen orang-orang yang gue sayang bisa ngerasain apa yang gue rasain.”

Aku diam. Mencoba mencernak kata-katamu. Lalu,

“Yaa, maksudnya orang-orang terdekat gue, gitu.”
“Emang kita deket?”
“Ya, menurut lo aje.”
“Hahahaha, iya, nanti dicoba nonton, deh.”

Kurang lebih 1km dari situ, ada sebuah minimarket dimana pelatarannya pernah kita jadikan tempat berteduh. Beberapa meter sebelumnya,

“Ini makin deres, loh, ujannya.”
“Iya, biarin aja. Kan pake helm.”
“Kan ngga pake jaket. Basah, loh, nanti.”
“Ngga apa-apa, deh.”
“Bener? Ya gue, sih, bodo amat. Gue kan pake jas ujan. Eh, ngga bodo amat juga, sih. Neduh, ya, makanya?”
“Yaudah deh. Basah, nih.”

Akhirnya aku mengalah, mengiyakan kamu yang segera memarkir kendaraanmu di parkiran minimarket itu.

Setengah jam. Kita punya waktu setengah jam untuk melakukan hal yang menurutku agak bodoh; menunggu hujan reda. Hal bodoh, namun menyenangkan, tentu saja.

Setelah melewati mnimarket tersebut, pengemudi ojek online ku membelokkan motor ke kiri.
Sesudah belok seperti ini, biasanya, lantas saja kamu memelankan laju motormu, dengan aku yang pura-pura tidak menyadari itu.

Di jalan ini, lah, aku mengeluh dalam hati mengapa rumahku begitu dekat? Tapi tentu saja aku sembunyikan keluhanku lekat-lekat.

Tidak sampai 5 menit kita segera tiba di rumahku, di depan pagar rumahku. Dimana tidak semua orang yang mengantarku akan sampai di depan pagar rumah.
Ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan, kamu salah satunya.
Kamu pernah bertanya kenapa.
Karna, aku tidak manja pada semua orang, aku menjawab.

Biasanya aku turun dari motormu, menunggu kamu memutar balik motor,

“Dadah.”
“Dadah juga, makasih ya. Hati-hati pulangnya.”
“Iya. Ngga usah chat nanya udah di rumah apa belom, ya.”
“Hahahaha, iya, ngga!”

Atau,

“Makasih, ya. Hati-hati di jalan.”
“Iya, dadah.”
“Perlu dichat ‘kalo udah sampe rumah kabarin, ya’ ngga nih?”
“Iya.”
“Oke.”
“Ngga usah, deh.”
“Oke lagi.”
“Chat aja, deh.”
“Iya.”
“Yaudah, dadah.”
“Dadaaah.”

Yang kemudian, aku hanya akan menunggu pesan online mu,

‘udah di rumah, nih.’

Lalu aku tertidur, setelah sebelumnya membalas,

‘okkdeh. Gue bobo yaaa.’

Aku sudah benar-benar sampai. Perjalanan pulang kali ini benar-benar melelahkan.

Terakhir, sebelum aku benar-benar masuk rumah,

“Ngapain kesini?”
“Mau ngapain, ya?”
“Ngga tau.”
“Gue mau minta maaf, biar ngga dibilang formalitas. Masih dibilang formalitas ngga permintaan maaf gue?”
“Masih.”
“Lah, kok? Kan gue sampe kerumah lo gini, mana ada formalitas sampe nyamperin ke rumah?”
“Ngga formalitas itu tau salahnya apa, jad tau kenapa harus minta maaf.”
“Gue tau gue salah nge-cancel janji gitu aja.”
“Hm.”
“Maafin ga?”
“Maafin. Tapi gue masih mau ngomel.”
“Yaudah, gue kesini emang buat denger lo ngomel kok.”
“Pancing, dong.”
“Gimana caranya?”
“Tanya gue satu pertanyaan utama.”
“Hmm, lo masih marah?”
“Bukan itu.”
“Lo mau ngomel apa?”
Lalu, tiba-tiiba,
“Ada temennya kok ngga disuruh masuk?”
Belum sempat aku menjawab, suaramu sudah lebih dulu terdengar,
“Iya, nih, Om. Ngga boleh masuk masa.”
Maka aku melanjutkan,
“Biarin aja, Pah. Lagian nyebelin jadi orang.”
Lalu kamu salam dan tertawa menanggapi kalimatku.
“Jadi gue harus pancing apa?”
“Mikir.”
“Aduuuh, bener deh, ngomel aja. Gue ngga bisa mikir.”
“Satu kata doang pertanyaannya.”
Kamu diam sejenak untuk berpikir, lalu,
“Gue tau!!”
“Hm.”
“Lo kenapa?”
“Nah itu. $/@/$8292!):89!2292$:92@10”
Kamu dengan setia (atau mungkin lebih tepatnya bosan) mendengar semua ocehanku sambil berdiri sementara aku duduk di atas motormu.
“Iya, maafin, ya? Gue salah.”
“Yaudah, udah dimaafin. Sana pulang.”
“Gue mau ngajak lo makan sebenernya, tapi tadi gue makan duluan.”
“Ngga usah ngomong!”
“Abis lama tadi nunggu ujannya.”
“Yaudah, sana pulang.”
“Bener udah ngga marah?”
“Iyaaa.”
“Ih, ngga seru banget. Lo minta apa, kek, gitu. Kan gue jadi enak dimaafinnya.”
“Ye, cacat.”
“Serius. Lo ngga pengen apa gitu?”
“Ke X.”
“Nah, kalo itu mah lo nambahin rasa bersalah gue namanya.”
“Hmm, yaudah ganti.”
“Apa?”
“Ke tempat makan lucu yang deket rumah lo aja.”
“Mau kesitu beneran?”
“Iya, lagian kan emang dari lama kita mau kesitu tapi ngga jadi-jadi.”
“Kapan?”
“Sabtu aja, ya? Weekday kayaknya gue ngga bisa.”
“Sama, sih. Basa-basi aja gue nanya kapan. Sebenernya mah cuma bisa Sabtu.”
“Ngeselin. Yaudah, sabtu.”
“Siap! Aku pulang, ya.”
“Makasih permintaan maaf ngga formalitasnya. Besok-besok kalo gue marah tapi ngga ngomel, jangan lupa tanya ‘kenapa’, ya.”
“Iya. Besok ke kampus mau ngapain?”
“Bimbingan.”
“Yaudah, semangat, ya. Sampe besok.”
“Iya, dadaah!”
Senyumku merekah lebar sekali. Sebelum akhirnya tau bahwa cerita indah kita berakhir di malam itu.

Tentang dua suara tawa,
Tentang satu pasang yang saling menggenapkan,
Tentang ragam cerita yang kita saling perdengarkan,
Tentang riak-riak rindu yang kita sembunyikan,
Dan tentang saling jatuh cinta, meski diam-diam.

Teruntukmu,
Bukan, bukan aku yang rindu.
Melainkan jalan dan partikel-partikel debu.

PS: jangan lupa selipkan tawa dan wajah penuh senyum di setiap percakapan di atas. Karna pada saat-saat itu, bahagia seutuhnya masih kita genggam.

(source: weheartit.com)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

Bertemu.

A Chapter.