Seperti Dulu (pt.1)


Adara menyapu pandangannya pada trotoar yang seakan ikut berjalan di sebelahnya. Di sampingnya ada Dirga yang masih saja mengeluh tentang project yang sedang ditanganinya.

“Terus, ya, Ra, padahal aku udah bilang biar aku aja yang ngurusin tempat disana, tapi kata Rico dia aja. Eh, pas kemarin aku survey, kamu tau ngga apa?”

“Ternyata Rico belom nyiapin seperti yang kamu mau?”

“Iya, Ra! Aku sebel banget. Ya, kalo ngga bisa, ngga usah gitu maksud aku.”

“Biarin aja, Ga, staff kamu kan juga butuh belajar. Masa apa-apa yang urus bosnya? Percaya aja kenapa, sih?”

“Ngga bisa, Ra. Ini klien besar. Aku ngga bisa percaya sama orang kayak Rico.”

“Terus emangnya orang macem apa yang bisa kamu percaya?”
Pertanyaan Adara membuat Dirga diam.

“Ga, kamu sadar ngga? Kamu susah banget untuk percaya dan menghargai usaha orang lain? Aku kalo jadi staff kamu juga udah nyerah kayaknya.”

“Kamu kenapa, sih, Ra? Kok malah ngomongnya gitu? Aku kan cuma pengen cerita aja sama kamu. Bukannya kamu yang dulu bilang semua hal harus dibagi?”

“Iya, Ga, aku ngerti.” Adara memilih diam, dan mengalah. Ia menghela napas diam-diam. Adara sebenarnya lelah. Ia hanya ingin tertawa bersama kekasihnya, saling bercengkrama tentang hal-hal tidak penting saja. Jauh dari masalah pekerjaan. Namun yang Dirga butuhkan justru sebaliknya. Dan, Adara harus mengerti Dirga.

“Eh, kamu sendiri gimana kantor? Baik-baik aja, kan?”

Everything goes well. Baik-baik aja kok.” Jawab Adara sambil tersenyum.

Bohong. Kantor Adara sedang tidak baik-baik saja. Banyak sekali deadline yang menumpuk meminta untuk segera dikerjakan. Ia tau ia salah dengan berbohong pada Dirga, namun ia tidak ingin membahas itu semua saat ini. Ia hanya ingin membahas mengapa tidak ada bintang malam ini, mengapa hari ini mendung namun tidak juga turun hujan. Ia hanya ingin membicarakan hal-hal ringan.

You sure? Kok tapi kayaknya kamu keliatan capek banget?”

“Hmm kalo capek, sih, pasti capek dong, sayang. Namanya juga kerja. But nothing to worry, kok. Kamu pasti lebih capek.”

“Capek, memang. Tapi ngga apa-apa, kan untuk masa depan kita.” Ucapan Dirga membuat hati Adara menghangat. Ia segera mendekatkan diri pada Dirga, dan mendekapnya lembut.

“Makasih, ya, Ga.”

“Sabtu ini kamu jadi kerumah aku? Mamah udah nanyain kamu terus, tuh. Kangen katanya.”

“Jadi dong. Kebetulan minggu ini aku ngga ada jadwal keluar kota.”

“Kamu jalan sendiri ke rumah ngga apa-apa, kan? Aku ada meeting sebentar Sabtu pagi. Tapi siang aku juga udah balik ke rumah.”

“Ngga apa-apa, lah. Take your time.”

***

“Ra, kemarin Mamah cerita sama aku, katanya kamu kalo ke kantor sekarang naik kendaraan umum? Kok kamu ngga pernah bilang sama aku?”

“Soalnyaaa, kalo aku bilang sama kamu, pasti kamu ngga bakal ngebolehin aku.”

“Berarti kamu tau, dong, aku ngga suka kamu naik kendaraan umum. Terus kenapa kamu masih aja naik itu?”

“Karna aku suka.”

“Ra, ngga gitu. Itu bahaya.”

“Dulu juga kita sering naik kendaraan umum?”

“Itu dulu, Ra. Beda sama sekarang. Sekarang aku juga bisa anter jemput kamu kalo kamunya mau. Tapi kamu yang ngga pernah mau. Daripada kamu naik kendaraan umum, mending aku yang anter jemput kamu, lah.”

“Ngga usah, Ga. Aku bisa kok sendiri. Aku lagi males aja bawa mobil. Capek.”

“Ya, makanya. Aku aja yang anter jemput. Lagian kalo ke kantor kamu, kan, kamu harus jalan kaki dulu dari rumah sampe depan komplek.”

“Ngga usah, Ga. Aku bisa sendiri. Dan masalah jalan kaki, kamu juga tau, kan, aku suka banget jalan kaki?”

“Iya, Ra. Aku paham. Tapi kamu juga bisa ngga mahamin aku yang khawatir sama kamu?”

“Iya, Dirga. Mulai besok aku bawa mobil lagi, ya.”

“Kalo kamu capek, bilang aja. Aku bisa anter jemput kamu setiap hari kok. Kamu kan udah jadi tanggung jawab aku.”

“Iya, sayang. Makasih ya.”
Adara menghela napas lagi perlahan, ia bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sejak kapan Dirga seperti ini?

***

“Ra, kamu dimana?”

“Lagi makan deket kantor sama Mita dan Aryo. Kenapa, Ga?”

“Kamu bawa mobil?”

“Bawa. Kenapa?”

“Ngga, aku lagi deket kantor kamu. Kalo kamu ngga bawa mobil, aku mau jemput.”

“Ooh, aku bawa mobil kok. Kamu langsung pulang aja.”

“Kamu kapan pulang?”

“Ini abis makan aku langsung pulang. Ya, ngobrol dulu, sih, dikit. Hehehe.”

“Hahaha, dasar kamu. Yaudah, aku pulang duluan, ya. Kamu hati-hati. Kalo udah di rumah kabarin aku, ya, sayang.”

“Iya, Ga. Kamu juga hati-hati.”
Adara menutup telfonnya diikuti pandangan bingung kedua temannya.

“Emang lo bawa mobil, Ra?”

“Hm...ngga, sih.”

“Terus tadi?”

“Gue males. Dirga, tuh, ngelarang gue naik kendaraan umum. Kalo dia tau gue ngga bawa mobil hari ini, dia bakal jemput gue, terus yang ada sepanjang jalan gue bakal diomelin gara-gara ngga bilang dia tadi pagi.”

“Raaa, Ra, bukannya bersyukur dapet pacar bertanggung jawab banget kayak gitu.”

“Iya, Ra. Dirga cuma khawatir aja kali sama lo.” Aryo akhirnya ikut menimpali.

“Iya, gue tau. Gue harusnya bersyukur, gue harusnya seneng. Gue juga tau dia khawatir sama gue. Tapi...dari dulu juga gue sering naik angkutan umum. Bareng ataupun ngga sama Dirga. Kenapa sekarang harus dilarang-larang? Gue ngga nyaman aja kalo dia terus-terusan begini.”

“Lo udah coba bilang belom ke dia?”

“Belom, sih. Nanti dia marah. Males gue nyari masalah.”

“Ra, inget ngga lo pernah bilang ke gue?”

“Apa?”

“Segala hal itu harus dikomunikasikan ke pasangan. Gimana pasangan lo bisa tau apa yang lo mau kalo lo aja ngga pernah ngasih tau ke dia apa yang lo mau? Bilang, lah, ke Dirga.”

“Iyaaaa, Yo. Nanti gue bilang Dirga.”

***

“Aku pikir Oji bisa aku andelin. Ternyata dia sama aja kayak Rico. Ngga becus semuanya. Pusing, kan, aku jadinya.”

Kali ini Dirga mengeluhkan pegawainya yang lain. Kali ini tentang barang pesanan klien yang tidak juga dikirim. Adara terlalu lelah mendengarkan keluhan Dirga.

“Ga, aku mau putus.” Tiba-tiba saja bibir Adara mengeluarkan seluncur kalimat yang sebenarnya sedang tidak ia rencakan. Adara sendiri, pun, terkejut mendengar perkataannya sendiri. Namun di saat bersamaan, ia juga tidak ingin menarik kembali kata-katanya.

“Hah? Ra? Kamu ngomong apa?”

Takut-takut Adara menjawab, “Aku mau putus.”

“Ra? Kenapa? Kamu ada masalah?”

Adara menggelengkan kepalanya perlahan. Tanpa ia inginkan, air matanya jatuh membasahi pipinya.

“Maafin aku, Ga.”

“Iya, kenapa, Ra? Alesannya apa?”

“Ngga tau.”

“Kok ngga tau?”

“Aku...capek aja.”

“Capek?”

“Kamu sadar ngga, sih? Udah banyak banget yang berubah sekarang di antara kita. Kita udah ngga kayak dulu lagi. Aku kangen kita yang dulu, Ga. Aku kangen kamu yang dulu. Kamu pernah ngga, sih, mikir itu?”

“Ra, tapi kan ngga mungkin kita kayak gitu terus? Bukannya kita emang butuh berkembang untuk tetap hidup? Maksud kamu apa, sih?”

“Iya, aku tau. Aku ngerti. Manusia emang perlu berkembang dan berubah untuk tetap hidup. Tapi...” Adara tidak bisa melanjutkan kata-katanya, sibuk terisak.

“Yaudah, sekarang kamu tenang dulu, Ra.” Dirga mengusap-usap punggung Adara. Ia sangat bingung dengan apa yang sedang terjadi di pikiran Adara.
Apa yang salah?

“Sekarang kamu tenang dulu, kita lanjutin obrolan ini di rumah, ya?”

Adara segera menggelengkan kepala, “Ngga, Ga. Ngga usah. Kamu bukannya ada meeting besok pagi? Kamu langsung pulang aja. Kita obrolin weekend aja. Ya?”

Dengan berat hati Dirga mengangguk, “Oke, Ra. Kamu jangan nangis lagi, ya.”


(source: weheartit.com)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

Bertemu.

A Chapter.