Sebentar Lagi Saja


Kepada yang setiap malam secara diam-diam menangis di bawah selimut kamarnya, berpura-pura kedinginan karna hawa pendingin ruangan ataupun udara, yang sebenarnya tidak terlalu mengganggu. Hanya karna sesungguhnya takut mengakui alasan sebenarnya bersembunyi di bawah selimut. Bukan karna dingin, melainkan ketakutan menghadapi dunia dan isinya.

Kepada yang sudah menghimpun percaya, sudah berprasangka baik pada dunia dan isinya, dan akhirnya tetap disia-siakan, tetap dikecewakan.

Kepada yang merasa terbuang, merasa tidak dianggap, merasa dilupakan, atau bahkan tergantikan.

Kepada yang menghisap rokok dan berusaha menjadikan asap sebagai teman satu-satunya yang setia, kepada yang bergantung pada minuman beralkohol untuk melupakan segala rasa terluka, atau bahkan pada tanaman hijau, pada serbuk putih, dan segala jenis macam cara untuk tetap kuat menghadapi dunia dan isinya—yang awalnya kamu sangka begitu baik ini.

Kepada yang terlampau sering dikecewakan hingga kadang rasanya sudah tidak sanggup merasa kecewa, rasanya sudah tidak ada lagi tempat untuk menampung kesedihan.

Kepada yang menjadikan langit malam sebagai rumah, yang selalu terjaga saat malam dan menganggap bintang adalah satu-satunya tempat berbagi. Yang merasakan tiada beda antara pagi, siang, dan malam. Karna semuanya sama-sama saja, sama-sama membuatmu merasa sendirian.

Kepada yang merasa sudah tidak memiliki energi, atau tenaga untuk sekedar bermimpi. Pada yang merasa sudah mengupayakan berbagai cara untuk menggapai mimpi—dan tetap belum cukup juga. Pada yang merasa mimpinya sudah tidak mungkin tercapai, hingga akhirnya berhenti pada satu titik realita demi menghidupi raga yang sebenarnya sudah tidak lagi berjiwa.

Kepada yang selalu dikhinati oleh percaya dan usaha, yang sudah berusaha untuk selalu mencintai diri sendiri namun selalu dibenturkan oleh fakta bahwa, kamu tetap bukan siapa-siapa dan tidak pantas untuk dicintai.

Kepada yang pernah, atau masih, suka menyakiti diri sendiri. Menyayat urat nadi sebagaimana menjadikan pengganti luka menyayat hati. Membenturkan kepala pada dinding karna lelah dengan berbagai cemoohan pikiran sendiri. Bahkan, berpikir untuk benar-benar mengakhiri hidup karna sudah tidak lagi terasa bermakna.

Kepada yang sudah sangat dekat dengan putus asa, sangat dekat dengan pilihan menyerah—atau bahkan merasa sudah tidak lagi memiliki pilihan selain menyerah.

Kepada yang sudah selalu berjuang, berusaha, meski sendirian. Meski jarang sekali dianggap. Pada yang tidak pernah mendapatkan percaya, atau bahkan cinta, dari mereka yang selalu kamu nomorsatukan.

Kepada yang lelah dalam menyemangati diri sendiri dengan membaca kalimat-kalimat motivasi yang penuh kebohongan. Kepada yang muak dengan segala omongan-omongan tentang percaya diri, jangan ragu untuk bermimpi, dan teruslah mencari cinta sejati.

Bullshit.

Tidak, sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang mampu menolongmu keluar dari keterpurukan itu. Tidak akan ada yang menarikmu keluar dari selimut hangatmu, tempatmu menyembunyikan semua borok dan nanah kecewa mu.

Tidak akan ada yang mematikan asap rokoknya, membuang minumanmu, menarik tanaman hijaumu, atau menaburkan bubuk putihmu. Tidak akan pernah ada.

Tidak akan ada yang datang lantas tiba-tiba menjadi arti hingga kamu merasa hidupmu jadi berwarna lagi, kembali memiliki makna.

Tidak akan ada yang benar-benar mendorongmu untuk mewujudkan mimpi. Semuanya tetap untuk kepentingan mereka, bukan kamu.

Pada dasarnya, manusia memang diciptakan untuk mencari bahagia. Manusia biasa dimanja. Hingga menjadi terbiasa untuk selalu bahagia, meski dengan menyakiti orang lain.

Isi dunia yang kamu pikir baik itu, manusia yang kamu pikir mampu menolongmu, semuanya sampah. Mengulurkan tangan untuk kemudian menariknya kembali. Membelaimu lembut untuk kemudian mendorongmu untuk agar jatuh lagi. Jangan, jangan pernah kamu percayai mereka dan menggantungkan harapmu pada mereka. Kamu hanya akan terluka, untuk yang kesekian kali.

Sayang, dirimu memang hampir hancur. Melebur bersama mimpi, asa, angan, hingga cintamu yang mungkin kini kandas, patah, hilang.

Tapi yang bisa aku janjikan, aku bahkan berani bersumpah, jika bukan tubuh hancurmu itu, jika bukan jiwa soakmu itu, maka tidak akan ada lagi yang menolongmu.

Hati baikmu—yang penuh koreng dan darah, hanya itu yang mampu menolongmu untuk keluar dari berbagai pilihan untuk menabrakan diri ke kereta, meloncat dari lantai tiga puluh tiga, atau bahkan meminum obat untuk menghapus nama dari dunia.

Sayangku, aku pernah disitu.

Menggigit bibir hingga berdarah demi menahan suara tangis.

Mengiris kulit dengan pecahan beling demi menyamarkan sakit di dada.

Menyembunyikan kepala di bawah selimut, berharap aku mampu hilang begitu saja.

Membenturkan kepala di kamar mandi sambil menangis tanpa suara.

Mendekati pilihan menyerah, membuang apa saja yang aku punya dan aku usahakan, karna merasa tak akan pernah mampu aku gapai mimpiku yang begitu banyak.

Menaruh harap agar asap rokok mampu membawa pergi segala pikiran yang memberatkan.

Menjadi penyendiri, menyepi, karna rasanya tidak ada yang mampu diajak berbagi, tidak ada yang mampu mengerti.

Menganggap rumah bukanlah rumah, karna justru di dalamnya aku merasa sangat kesepian dan tidak berguna apa-apa.

Nyaris tenggelam dalam mabuk alkohol yang sungguh mampu membuatmu melayang.

Bahkan berdoa pada Tuhan untuk segera memberikan nyawaku pada yang lebih menginginkannya, karna sungguh, aku tidak ingin lagi hidup, aku tidak memiliki alasan untuk terus ada di dunia.

Sayang, bertahan, lah.

Dunia ini terlalu brengsek untuk kamu tinggalkan begitu saja. Tunjukkan pada dunia, juga isinya, kamu lebih dari sekedar pengecut yang meninggalkan medan perang dengan kaki buntung dan tangan patah, serta hati terluka nyaris tanpa sisa.

Rangkul hatimu, rengkuh jiwamu, peluk sakitmu.

Bukankah sudah cukup kamu kehilangan segalanya? Jangan biarkan dunia ini menang dan benar-benar mengambil seluruhnya dari mu, hingga dirimu sendiri.

Biarkan segalanya hilang, kamu tidak butuh semua itu. Tapi temukan dirimu sendiri, jangan biarkan itu hilang. Karna hanya itu yang kamu butuh untuk melawan dunia yang dipenuhi kepalsuan ini.

Sebentar lagi dunia ini akan hancur dengan sendirinya,

Aku, kamu, kita, akan berdiri menyaksikannya.

Biarkan dia hancur, dan kita tertawa, tertawa dalam damai karna kita berhasil bertahan dari kerapuhan dan berdiri di atas kehancuran.

Maka dari itu, bertahan.

Sebentar lagi saja.


(source: weheartit.com)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

Bertemu.

A Chapter.