Melepaskan Diri


Jogjakarta, pagi ini.

Aku melayangkan pandanganku pada segala yang aku bisa tatap. Tanpa aku sadari aku mencari bayangmu untuk yang kesekian kali. Kuhela napas begitu dalam, lalu membuangnya perlahan. Berharap segala rasa sesak di dada bisa ikut keluar bersamaan dengan karbondioksida yang aku hembuskan. Namun tidak, sesak ini masih saja menjalari seluruh tubuhku.

Ini catatan kesekian di hari kesekian aku melarikan diri dari hirukpikuk duniawi. Dari riuh perasaan yang aku tau hanya untukmu. Sayangnya, masih saja catatan ini menuju kamu. Seakan memperjelas bahwa hatiku masih tersimpan rapih untuk mu.

Kamu yang sudah berkali-kali menyakiti aku dan meyakinkan bahwa kamu menyayangiku.

Entah harus dengan cara apa aku memberi tahu kamu, bahwa aku percaya. Bahwa aku cinta. Tapi kenapa tingkah lakumu selalu membuat segala usahaku terlihat sia-sia?

Aku sengaja menghilang darimu, satu-satunya pusat duniaku. Aku sengaja lari kesini, agar mampu memikirkan sedikit saja tentang diriku.

Semua temanku berkata bahwa aku tidak pantas menerima kamu untuk kesekian kali. Setelah luka-luka yang kamu sebabkan, entah yang berdarah, pun yang tidak. Tapi apa dayaku ketika melihat satu-satunya laki-laki yang aku sayangi memohon agar aku kembali? Permohonan maafmu selalu ditutup dengan kecupan lembut di bibirku, yang masih terasa perih kala kamu tampar beberapa hari lalu.

Sayang, segenap hati dan seluruh jiwa ini milikmu. Mengapa lagi harus selalu kamu tempa dengan berbagai perlakuan kasarmu? Dan mengapa pula yang aku bisa lakukan hanya menangis lantas memaafkan kamu?

Kata mereka, disini aku bisa mendapatkan ketenangan. Katanya, kota ini pandai sekali dalam menyalurkan damai tidak terjelaskan. Menurut kabar, Jogja adalah tujuan terbaik jika kamu mencari pelarian.

Lima belas hari sudah aku berada disini. Berusaha mencari tenang yang orang-orang itu dengungkan. Tapi justru kenangan-kenangan usang yang bermunculan.

Mana itu damai yang ramai mereka bicarakan? Tak juga aku dapatkan meski sudah hari kesekian. Bukannya damai, jutru yang terasa adalah pelukmu yang begitu aku rindukan.

Dan, bagaimana bisa disebut tempat pelarian, jika justru segala tentangmu malah keluar berhamburan?

Dua hari lagi sisa waktu ku disini. Meski mungkin sebenarnya aku masih membutuhkan dua minggu, atau bahkan dua bulan, atau bisa juga dua tahun lagi. Tapi aku harus merangkumnya dalam waktu dua hari.

Kamu, apa kabar?

Lagi-lagi bayangan tentangmu yang menghampiri ruang imajiku. Sudah sebegini jauh, haruskah hidupku masih dibayang-bayangi kamu?

Waktuku dua hari lagi. Semoga sampai saatnya nanti, aku sudah bisa meninggalkan segala tentangmu. Hampir tidak mungkin, memang. Bukan berarti tidak bisa, kan?


(source: weheartit.com)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

Bertemu.

A Chapter.