Happy 23rd Birthday.


Happy 23rd birthday, tebila?!

Wow it’s been a quite old, hm? Well mungkin umur 23 tahun ini belum berarti apa-apa ya dibanding orang-orang di luar sana yang udah through very lots. Dan mungkin masih banyak banget ‘rahasia’ dunia yang harus gue terka di umur yang masih seumur jagung ini...

23 tahun hidup di dunia dan isinya yang penuh kejutan ini, jujur sempet bikin gue hampir nyerah. Kadang dunia ini terasa begitu jahat, tapi juga ada waktunya dunia jadi begitu baik.

Dari 2016 sampai 2018 (semoga ngga lanjut ke tahun-tahun berikutnya, AMIN), setiap November—yang mana adalah bulan gue dilahirkan, gue pasti mengalami kehilangan.

2016, gue kehilangan kakek gue. Beliau meninggal tanggal 9 November. Ninggalin gue bersama dengan beribu penyesalan yang ngga bisa gue lupain bahkan sampe saat ini. I wish you’re fine up there, tough...

2017, gue kehilangan, atau lebih tepatnya gue dengan sengaja mencoret nama seseorang dari hidup gue. Untuk kebaikan dia, untuk kebaikan gue, ya, untuk kebaikan kita.

2018, gue bukan cuma kehilangan orang, atau sosok. Tapi gue kehilangan rasa percaya. Satu masalah yang kemudian nyamber kemana-mana, alias gue jadi susah banget percaya sama orang.

Akhir-akhir ini gue mistrust banget sama orang-orang sekitar gue, bahkan sahabat-sahabat terdekat gue. Sebulan terakhir ini gue selalu punya negative thougths ke orang-orang di sekitar gue. Gue ngga bisa percaya mereka. Gue ngga bisa percaya kalo mereka bisa—atau mungkin mau, untuk ngerti dan mencoba memahami gue. Gue ngga bisa percaya ada orang yang bener-bener bisa tulus sama seseorang.

Sebulan terakhir ini gue juga lose interest in everything. Bahkan ketika kemarin gue ke Bandung—sebuah kota yang sangat amat gue sukai banget parahhhh!, gue biasa aja. Ngga setertarik biasanya. Padahal lazimnya ini juga bisa jadi salah satu best therapy gue.

Ketika gue lagi sedih, jenuh, atau banyak pikiran, gue cukup tau gimana cara mengatasinya. Kalo masih tingkat rendah, gue cuma butuh es krim, then everythng goes well again. Kalo tingkat sedang, gue mulai butuh kegiatan fisik—tapi gue adalah anak yang lemah fisik(?) lol, so i find my physical therapy; jalan kaki. Biasanya kalo abis jalan kaki, i can clear up my mind. Terus kalo udah tingkat berat, then i need to write.

Dalam menulis, gue selalu ngerasa gue bisa jadi apa dan siapa aja. Gue bebas. Gue bisa jadi diri gue sendiri, gue bisa jadi orang lain, siapapun yang gue mau. Hal-hal yang ngga bisa gue lakukan—atau belum bisa, gue bisa lakukan itu di fiksi atau puisi-puisi gue.

Sampai akhirnya, entah untuk yang kesekian kali, tulisan gue jadi semacam ‘boomerang’ untuk diri gue sendiri. Gue ngga bisa menulis dengan bebas lagi, karna gue takut disalahartikan lagi. Gue ngga bisa menjadi siapapun yang gue mau, karna banyak banget orang-orang soktau dan ngerasa mereka yang paling benar.

Dan ketika gue udah coba melakukan ketiganya, and i still cant find my peace, that way, i know i just lose myself. Dan gue ngga berani cerita ini ke siapapun, karna gue kehilangan rasa percaya gue.

Bukan, bukannya gue takut mereka nyebarin cerita gue. Tapi lebih ke ngga percaya kalo mereka bisa ngerti, bisa paham, atau bahkan, gue ngga percaya mereka mau usaha untuk memahami gue.

Di tahap itu, bukan cuma mistrust sama manusia, gue bahkan mistrust sama dunia dan takdirnya. Semua ketakutan masa lalu, semua sakit hati yang pernah ada, semua pengalaman pahit kayak muncul berputar di otak gue. Tidur pun ngga bikin gue lupa sama semuanya. Karna ketika gue bangun, yang terasa malah capek dan keengganan untuk memulai hari.

Semua hal terasa salah. Gue jadi lebih sensitif. Gue jadi ngerasa semuanya salah gue. Gue selalu ngerasa kurang. Gue jadi berpikir ngga akan ada orang yang bisa nerima gue.

Tapi ngga, gue ngga berpikir untuk mengakhiri hidup. Gue ngga melakukan self-harming. Gue justru berpikir gimana caranya gue keluar dari tahap menyebalkan ini.

And i went down to the root.

Sajadah selalu bisa menjadi tempat berpulang.

Ketika gue sadar gue udah jarang banget melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan selain solat, gue mulai coba lagi.

And then, God shows His magic.

Tiba-tiba gue ngerasa kehangatan di sekitar gue. Anehnya, gue dapetin itu semua bukan dari orang-orang terdekat yang gue lagi mistrust-in ini. Justru dari orang-orang asing yang ngga sengaja gue temui. Atau penawaran seru yang bahkan tanpa gue cari tapi cukup untuk membangkitkan semangat gue lagi.

I cant tell you the details, but i just feel it that way.

Ulang tahun di tahun ini pun agak sedikit berbeda, tapi sangat berkualitas. Ucapan yang gue terima bukan sekedar satu atau dua kalimat yang menyatakan selamat dan lanjutan doa pada umumnya, tapi doa yang begitu panjang dan gue ngga ngerti lagi tiba-tiba semua temen gue jadi puitis?!

Iya, yang ngucapin gue ulang tahun udah ngga sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Karna kayaknya gue ngga update-update di instagram kayak sebelum-belumnya? Atau karna gue ngga nge-set tanggal ulang tahun gue di line? Atau sesimpel, ya, no one gives a fuck? Entah...tapi yang jelas, that way, i still feel complete.

Again, i cant put the details here, yet really, i feel so complete that day.

And...there is you.

Your presence, your love, made the day feel even more complete and special.

And now, i feel lots better.

Gue masih belum bisa sebebas itu untuk nulis, bahkan di beberapa tulisan gue, rasanya begitu ‘kosong’. Like i dont put a soul in those writings. Gue juga masih sedikit mistrust sama orang-orang di sekeliling gue. Either gue takut mereka ngga nerima gue, atau gue takut mereka bakal ninggalin gue.

But one thing i know so sure, i’m on my way to getting better and be better version of me.

So, here it goes, happy birthday, Tebila.

I owe you for surviving up until now, thank you.



(source: weheartit.com)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

Bertemu.

A Chapter.