Kupu-Kupu Malam
Kata orang, aku ini kupu-kupu malam. Kata mereka, aku
sampah masyarakat.
Katanya aku ini tidak tahu diri, tidak tahu malu. Segala hal
negatif selalu disematkan kepada ku.
Kata orang, aku ini wanita jalang. Kata mereka, aku tidak
pantas diterima. Katanya aku ini tidak tahu diuntung, orang tuaku pasti tidak
sudi mengakui aku sebagai anak mereka.
Hah.
Mereka tahu apa tentang hidupku?
Mereka memandangiku dari atas sampai bawah. Menilik
pakaian yang aku pakai. Pakaianku selalu salah.
Terbuka, aku dibilang
‘pantas, dasar jalang.’
Tertutup, aku dibilang
‘munafik.’
Menggunakan baju mahal, mereka bilang
‘halah, hasil uang haram.’
Menggunakan baju murah, mereka bilang
‘sama seperti yang menggunakan, murahan.’
Bangsat.
Mereka memandangiku dari atas sampai bawah. Memperhatikan
gerak-gerik aku. Semuanya selalu salah.
Aku kurang ajar, dibilang
‘dasar, tidak tahu diri.’
Aku berusaha sopan, dibilang
‘belaga sopan, tetap saja kamu jalang.’
Tertawa, mereka bilang
‘berisik! tawamu bahkan tidak pantas ada di bumi.’
Menangis, mereka bilang
‘pura-pura! paling biar ada yang beli.’
Bajingan.
Mereka tau apa tentang hidupku?
Bisanya hanya menilai, menghakimi. Merasa menjadi yang
paling benar.
Persetan.
Mereka merasa lebih baik dari aku? Lalu kenapa pria-pria
itu tidak setia pada mereka?
Suatu saat aku begitu penasaran, maka aku bertanya pada
seluruh pelanggan ku selama seminggu,
‘kenapa, sih, kamu selingkuh?’
‘kenapa, sih, kamu ngga main sama pasanganmu aja?’
‘kenapa, sih, kamu selalu kembali ke aku?’
‘aku kan dibayar, mahal lagi. istrimu, gratis. kenapa
ngga ke dia aja?’
Tau apa jawab mereka?
‘dia munafik.’
‘dia hanya memikirkan kepuasannya sendiri.’
‘dia terus saja meracau tentang orang lain.’
‘dia egois.’
‘dia cuma peduli apa kata orang lain.’
‘aku diubahnya menjadi yang dia mau.’
Dan yang paling bikin aku terkejut, ada jawaban,
‘dia juga tidak kalah brengseknya dariku. malah lebih
dia, aku jelas-jelas bermain dan mengakuinya. sementara dia? bermain juga,
dengan cinta masa lalunya pula. tapi tidak mau ngaku, dimakilah aku oleh orang
sekitar. brengsek.’
Mendengar jawaban mereka lantas aku merasa aku tidak yang
paling buruk. Mendengar jawaban mereka lantas aku tidak merasa aku ini seperti
yang orang-orang itu katakan.
Aku murahan? Hei, kau itu gratis. Lelaki itu harus
membayarku mahal dan mereka mau.
Aku jalang? Hahahaha! Aku bangga menjadi jalang,
setidaknya aku tidak perlu ketakutan setiap malam. Ketakutan kebusukan hatiku
terbongkar suatu saat.
Aku tidak tahu diuntung? Kalian memiliki laki-laki yang
(awalnya) menyayangi kalian. Lalu apa? Kalian sia-siakan! Kalian pikir bisa
mengubah laki-laki itu menjadi boneka masa kecil kalian. Bodoh. Dan ketika
laki-laki mereka kabur padaku untuk mendapatkan sedikit kepuasan—kabur sebentar
dari lautan ego kalian, aku dibilangnya munafik. Goblok.
Dan, apa?
Orangtua ku pasti tidak sudi mengakui ku sebagai anak
mereka?
Hei!
Memangnya mereka pikir aku mengangkang setiap malam untuk
siapa jika bukan untuk mereka?
Untuk tas branded
yang aku gunakan setiap hari?—yang aku tahu betul mereka sangat
menginginkannya, air liur mereka hampir menetes ketika melihatku berjalan
menggunakan tas-tas itu.
Atau, untuk perawatan kulit sehingga kulitku ini begitu
mulus?—yang juga menambah alasan dengki mereka padaku.
Bodoh.
Begitu memang kalau otak hanya sampai di selangkang.
Hanya tentang kepuasan duniawi saja yang mereka pikirkan.
Aku bukannya bilang aku ini religius, agamis. Aku memang
pendosa, mungkin tidak memiliki pahala.
Namun selama para lelaki itu masih mau memasuki ku dan
memberikan uang, aku tidak peduli surga neraka.
Kebutuhan orang tuaku harus terpenuhi, dan mereka ada di
dunia.
Bukan di surga, atau neraka yang selalu orang-orang bangsat
penuh kemunafikan itu bicarakan.
Orang-orang tidak tahu diri—merasa paling benar; hanya
ingin tahu urusan orang—sok tahu. Menilai, merasa paling pantas menghakimi.
Orang-orang yang merasa hatinya tersakiti, karna
laki-laki yang mereka cintai memilih bermain denganku.
Padahal nyatanya secuil hatipun mereka tak punya.
Aku kupu-kupu malam,
Menjadi pelampiasan nafsu para lelaki kehilangan rumah.
Menjadi pelampiasan para wanita yang marah.
Lantas,
Kenapa?
(source: weheartit.com)
Komentar
Posting Komentar