(Bukan) Lagu Kita


Saat itu aku sedang membaca alinea kedua dari sinopsis sebuah novel. Sesaat ketika tiba-tiba saja sebuah lagu berkumandang menggantikan suara Adam Levine yang terdengar pada seluruh toko buku. Hanya mendengar intro awalnya saja, darah ku sudah berdesir. Segera saja, seiring dengan beragam lirik yang diceritakan oleh sang penyanyi, ingatanku mundur pada beberapa bulan. Saat semuanya masih baik-baik saja. Saat itu masih ada aku dan kamu.

Malam itu kita bertemu. Pertemuan biasa layaknya dua orang teman lama yang sudah lama tidak jumpa. Padahal sebenarnya baru sekitar 2 minggu kita tidak saling bertemu. Tapi ketika bertemu denganmu saat itu, entah, kamu sudah terasa begitu jauh. Namun kamu tetap kamu. Dengan segala tingkah laku konyolmu.

Lantas kita pergi ke sebuah pusat perdagangan di ibu kota. Mencari apa yang harus dicari, katamu. Aku mengikuti saja, sambil sesekali memperhatikanmu dari batas yang kamu tidak akan tau—atau sebenarnya kamu tau? Entahlah.

Di perjalanan tiba-tiba sebuah lagu terdengar dari radio, yang sebenarnya tersambung dari handphone ku yang sungguh aku putar secara acak. Lagu itu—bukan, bukan lagu yang kini masih terputar di toko buku—menjadi pembuka atas obrolan masa lalu. Kita membicarakannya dengan santai, seakan masa itu sudah lewat bertahun-tahun yang lalu. Seakan sudah tidak ada sama sekali lagi perasaan yang tertinggal. Sampai lagi-lagi, terputar sebuah lagu yang harusnya aku—kita hindari. Lagipula, kenapa juga saat itu tidak aku hapus saja lagu-lagu itu, ya? Ah, sudah lah. Lagu itu aku lewatkan.

“Yah, kok di skip sih? Orang mau nyanyi juga.” Ujarmu.

“Ngga enak lagunya.”

“Ngga enak tapi kok di download.”

Aku diam. Tidak menggubris.

Dan, akhirnya kita sampai pada pusat perbelanjaan yang kita tuju. Sebenarnya, bukan pusat perbelanjaan namun toko buku.

Aku tidak pernah mengajak orang lain ke toko buku, apalagi di saat aku ingin membeli buku. Karna aku akan menghabiskan waktu yang cukup lama sebelum akhirnya memilih buku apa yang akan aku beli. Dan tidak enak rasanya jika terasa seperti ‘ditunggui’, aku juga takut orang lain bosan menungguku. Maka ketika kamu mengajak aku kesana—untuk membeli keperluanmu sebenarnya, aku tidak berniat sama sekali untuk membeli buku apapun.

Ternyata keperluan mu itu butuh beberapa waktu sebelum akhirnya bisa kita bawa pulang. Maka kita sepakat untuk menunggunya sambil melihat-lihat buku di lantai atas. Aku mulai tenggelam dalam lautan buku dan kamu entah dimana. Mencari kesibukan sendiri dengan buku-buku yang—mungkin—kamu gemari. Aku menunggu hingga kamu mengajakku pulang, namun tidak. Kamu membiarkan aku asyik dengan buku-buku di sekitarku sementara kamu juga terlihat seru dengan buku-buku di sekitarmu. Hingga akhirnya aku yang mengajakmu untuk melihat ke bawah apakah keperluanmu sudah selesai, setelah sebelumnya aku membayar buku yang aku beli—yang artinya sudah cukup lama kita berada disitu.

Tunggu, tunggu. Lagu yang terputar di toko buku ini sudah selesai dan aku belum juga sampai pada inti cerita? Aku percepat saja cerita ini.

Akhirnya kita sudah di perjalanan pulang, setelah sebelumnya melewati berbagai percakapan aneh—tapi lucu, yang tak akan sempat aku ceritakan disini.

Jalanan malam itu macet, belum lagi hujan rintik-rintik menambah sendu suasana. Aku mengalihkan perhatian ku pada tidur. Hingga sebuah lagu dari handphoneku terdengar.

“Ya ampun band ini! Udah lama banget gue ngga denger lagu-lagunya. Mau yang judulnya xxx dong. Kangen.”

Tanpa banyak bicara aku segera memutarkan lagu xxx itu. Lalu, di tengah padat jalan raya dan di bawah rintik hujan, kamu menyanyikan lagu itu. Aku sengaja menoleh ke jendela sembari berusaha untuk menguatkan hatiku.

Lagu ini, lagu ini tentang kamu—tentang kita. Lagi-lagi bukan, ini belum sampai pada inti cerita.

Aku hampir menangis saat itu, mendengar kamu bernyanyi, menceritakan lirik-lirik itu di sebelahku. Rasanya aku ingin membaur dengan rintik hujan di jendela. Menjadi kecil, lalu perlahan-lahan menghilang.

“Lo kalo ngantuk, tidur aja.” Ujarmu tiba-tiba, setelah lagunya habis.

Kalimatmu malam itu, mengirimku pada sebuah siang. Kata-katamu persis seperti itu. Tapi sudahlah, aku tidak memiliki cukup waktu untuk mengenang sejauh itu.

“Mau tidur. Tapi mau bobo manja boleh ga?”

Kamu jelas tau apa yang aku maksud.

“Nih.”

Kamu menyodorkan bahumu, seakan menawari aku untuk bersandar di sana. Maka aku segera menggamit lenganmu lalu bersandar di bahumu, memejamkan mata. Sementara kamu masih asyik menyanyikan beragam lagu yang terputar dari handphoneku.

Kita sudah dekat dengan rumahmu, lalu aku membuka mataku, namun tetap bersandar di bahumu.

“Tangan lo jauh banget, sih. Gue dari tadi mau megang ngga bisa.”

“Hahahaha, usaha dong.”

Dan akhirnya kamu berhasil menggenggam tanganku.

“Eh, lo tau lagu yyy ngga?”

“Ngga.”

“Ah, ngga asik lo.”

“Lagu apa emang?”

“Lagu baru. Enak banget lagunya. Cariin dong di youtube.”

“Hm.”

“Buruan.”

“Hm.”

Lalu lagu itu terputar. Lagu yang aku dengar di toko buku ini, lagu yang sudah selesai dinyanyikan dari beberapa menit lalu.

Akhirnya kita sampai di inti cerita.

Kamu kembali menarik tanganku dan aku kembali bersandar di bahumu. Kamu menyanyikan lirik demi lirik lagu itu. Begitu indah lirik lagu itu.

Hingga pada sebait lirik, lantas kamu mengeratkan genggaman tanganmu. Seakan—mungkin—mengisyaratkan bahwa lagu itu tersurat untukku.

Aku masih ingat perasaanku malam itu, bahagia dalam ketakutan yang tidak terjelaskan. Takut dalam kebahagiaan yang seharusnya aku relakan.

Bait-bait lirik dari sekian lagu yang suka tiba-tiba terputar, masih mengirimkan selintas bayangmu dalam anganku.

Lagu-lagu yang bercerita tentang kita—aku dan kamu.

Dan,

Suratmu masih tersimpah rapih, dalam memoriku. 

(source: weheartit.com)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

Bertemu.

A Chapter.