Forget Jakarta—i'm not.


Pagi ini aku berjalan kaki—seperti biasa, di trotoar di pusat perkantoran (mantan) Ibukota. Menuju sebuah gedung tempatku bekerja selama kurang lebih satu tahun ini. Di telinga suara Adhitia Sofyan berkumandang merdu, menyanyikan lagu Forget Jakarta.

Lirik,

‘lets forget Jakarta...’

Tepat terdengar ketika aku sedang menatap gedung-gedung tinggi di sekitarku. Tiba-tiba haru menyeruak, entah kenapa. Tidak, aku tidak ingin melupakan Jakarta.

Meski kemacetan, kerusuhan, polusi udara, dan segala macam kekurangan yang Jakarta miliki. Bagiku Jakarta tetap memiliki pesonanya tersendiri.

Seperti,

Gemerlap lampu yang bisa kamu nikmati dengan kopi seharga 24.000 dari atas gedung yang menyenangkan.

Atau gratis memperhatikan lampu-lampu mobil yang membentuk titik-titik merah panjang dari atas jembatan penyebrangan.

Menikmati malam Jakarta yang begitu memikat pesonanya dari atas kereta berjalan seharga 3 – 14 ribu.

Atau menghirup udara pagi yang minim sekali, merasakan hawa dingin yang hanya bisa kamu rasakan apabila kamu keluar rumah paling lambat pukul 6 pagi.

Tidak, tidak ada yang bisa dinikmati di siang hari selain kepadatan lalu lintas, atau perut kosong yang terisi kembali.

Meski entah berapa kali Jakarta menjadi gudang kecewaku, namun di saat yang bersamaan Jakarta juga menjadi ruang bahagiaku.

Begitulah Jakarta, kota kelahiranku.

Maka aku tidak ingin sama sekali melupakannya. Aku tetap ingin ada disini. Menyaksikan Jakarta berkembang, atau hancur sekalipun.

Oleh karna itu, aku tidak ingin mencari orang yang akan membawaku pergi dari kota yang sebenarnya indah ini.

Aku tidak ingin bersama dia yang meninggalkan kota tempat kami bertemu, atau menjalin kasih, menjadi saksi-saksi bisu tanganku memeluk erat pinggangmu sambil tertawa riang. Jalanan yang kita lintasi dengan roda-roda motormu, entah sedang terburu-buru, atau santai sambil menimati perbincangan sehabis pulang kerja.

Aku lebih suka dia, yang mampu menikmati segala pesona Jakarta sekaligus kemudaratannya. Dia yang mampu beradaptasi dengan keiistimewaan sekaligus kebangsatan kota ini—kota kami.

Aku mencari dia, yang bisa menuntunku menemukan serpihan kebersyukuran di antara ketamakan yang tertampang nyata di media.

Jadi, kamu kah dia?

Aku harap iya.

Karna di atas kendaraan roda dua mu, tempat kita bersapa ria bercerita tentang kehidupan masing-masing sepanjang hari itu, atau terkadang tempat kita saling merajuk karna kesalahpahaman yang kita buat-buat sendiri,

aku menitipkan doa pada desau angin yang menerpa tubuh kita,

juga pada debu-debu jalanan yang berterbangan bebas,

serta pada dedaunan yang bergemerisik luruh mengiringi perjalanan kita,

agar mereka menyetujui kita,

agar mereka ikut tersenyum kala kita tertawa,

agar mereka ikut bersedih kala kita berpisah,

agar pada setiap doa yang kita ucap, mereka ikut mengaminkan.



(source: pinterest)

Komentar

much related

Kenapa Kita?

Bertemu.

A Chapter.