Musim Hujan Keduaku Bersamamu
Bunyi suara
hujan,
Langit gelap hari ini,
Menyadarkanku
dari lamunan panjang.
Aku—masih,
duduk di tepi jendela,
Di tempat
kamu mengecup keningku barusan saja.
Sembari memperhatikan
dunia sedang bekerja.
Bulir-bulir
hujan mulai jatuh,
Bercampur dengan
peluh, mungkin pula keluh.
Ada yang
merengut, lalu pergi berangsur,
Namun mungkin
ada juga yang bersyukur.
Ah,
Manusia,
Selalu berbeda-beda.
Lalu entah di
rintik ke berapa,
Bayangmu hadir.
Menari-nari
di asa,
Sambil aku
berterima kasih pada takdir.
Bibirku tertarik
menjadi lengkung.
Ah, sayang,
Sudah berapa
senja kita lewatkan bersama?
Sudah berapa
kali pula kita melihat langit berdua—berubah warna?
Aku sudah
kehilangan hitunganku,
Bahkan tidak
sadar aku sudah tidak lagi pernah menghitung.
Langit gelap hari ini,
Mengingatkanku
pada bulan-bulan lalu,
Kala kita
bercengkrama di bawah hujan,
Kala aku
memelukmu nyaman meski dingin,
Kala kamu
membuatku tertawa meski di tengah deru angin.
Bersamamu
jauh dari akal pikirku,
Bersamamu jauh
dari logika sehatku,
Bagaimana bisa,
yang hampir selalu berbeda menjadi satu?
Tapi sayang,
Toh hujan ini
membuktikan,
Ratusan hari
telah kita lewatkan.
Maka,
Aku siap
menuju ratusan—ribuan hari lainnya bersamamu,
Dibersamai terik
serta hujan milik semesta,
Menyaksikan warna
langit dari biru, berubah menjadi warna faforitku.
Ditemani
tawa, marah, sedih, kecewa, kesal, atau bahagia.
—kalau
kamu?
(source: modflat.site)
Komentar
Posting Komentar