Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

Kepada Semesta, Kepada Kamu.

Gambar
Hai, semesta. Apa kabar? Rasanya sudah lama aku tidak menyapamu seperti ini. Maaf, akhir-akhir ini pekerjaan ku menumpuk. Jarah tempuh antara rumah-kantor, juga menjadi salah satu alasan aku jarang bercengkrama denganmu lagi. Jadi, apa kabar? Iya, aku tau kamu pasti baik-baik saja. Lewat dedaunan hijau yang kerap aku lihat setiap pagi, aku tau kamu baik-baik saja. Kemarin sore ada angin lembut tiba-tiba menampar wajahku. Aku tau itu pesan bahwa kamu merindukan aku. Makanya, aku menyempatkan diri untuk hadir disini. Menyapamu lagi. Yah, aku pun rindu. Kabarku? Hmm, aku rasa aku sedang tidak baik-baik saja. Tapi bukan berarti aku tidak baik-baik saja. Kamu mengerti maksud ku, kan? Semesta, jujur saja, takdirmu kali ini begitu membuat aku jatuh dalam kebingungan tidak bermuara. Bukan, bukannya aku sedang menyalahkan kamu. Iya aku tau, kamu hanya menjalankan fungsimu sebagai pusat dunia, memastikan seluruh takdir sampai pada manusia yang tertitipkan. Tapi, takdir kali...

Pergi, lah.

Gambar
Bagaimana aku mampu meracik bahagia, Jika kemarin selalu menelan kecewa. Dan bagaimana aku bisa melepas rindu, Ketika hanya itu yang ku ramu? Tuan, sudah, lah. Berhenti berusaha. Bukan kamu yang tak cinta. Aku yang tak bisa. Bagaimana aku mampu mencipta tawa, Jika kemarin terlalu sibuk dengan air mata. Dan bagaimana aku bisa percaya kamu, Ketika percayaku disia-siakan selalu? Umpat aku sebagai pengecut tidak tahu diuntung, Atau perempuan tidak tahu malu. Terserah mu. Kamu pantas mendapat yang lebih dibanding aku. Karna, Bahagia ku tidak lagi sesederhana, Melihat mata Atau mendengar tawa, Lalu jatuh cinta. Batu itu terlalu keras menghantam hatiku, Hingga ia terlalu pilu, Menjadi kelu, Lantas beku. Maka, maafkan. Aku pun rindu sebuah kebersamaan. Namun entah apa lagi yang mampu aku lakukan. Menyerah layaknya satu-satunya pilihan. Pergi, lah. Kamu tak akan mampu melihat luka, Dan gilanya kecewa, Yang pernah ak...

Seperti Dulu (pt.2)

Gambar
“Jadi, kenapa?” Tanpa basa-basi, Dirga segera mengarahkan percakapan mereka pada apa yang terakhir kali mereka bicarakan di mobil dua hari yang lalu. “Maafin aku. Ngga seharusnya aku ngomong gitu.” Jawab Adara. “ I dont need sorry. I need to know why.” “ Okay, maaf kalau ini terdengar konyol untuk kamu, Ga, tapi I just miss the old you, the old us. Akhir-akhir ini, sekitar 5 bulan ini, aku ngerasa kamu perlahan-lahan berubah menjadi seseorang yang ngga aku kenal. Semua omelan kamu, keluhan kamu, cerita-cerita kamu. It’s not the Dirga I know. ” “Maksudnya? Dirga yang kamu kenal emang Dirga yang seperti apa?” “Bukan cuma Dirga yang aku kenal, tapi juga Dirga yang bikin aku jatuh cinta, adalah Dirga yang akrab sama lingkungan, alam. Dirga yang selalu semangat, Dirga yang selalu semangatin aku. Dirga yang selalu bisa bikin aku ketawa karna hal-hal konyol yang dia lakuin.” Adara menghela napas sebelum melanjutkan omongannya, “Dirga yang 5 bulan belakangan ini, ...

Seperti Dulu (pt.1)

Gambar
Adara menyapu pandangannya pada trotoar yang seakan ikut berjalan di sebelahnya. Di sampingnya ada Dirga yang masih saja mengeluh tentang project yang sedang ditanganinya. “Terus, ya, Ra, padahal aku udah bilang biar aku aja yang ngurusin tempat disana, tapi kata Rico dia aja. Eh, pas kemarin aku survey , kamu tau ngga apa?” “Ternyata Rico belom nyiapin seperti yang kamu mau?” “Iya, Ra! Aku sebel banget. Ya, kalo ngga bisa, ngga usah gitu maksud aku.” “Biarin aja, Ga, staff kamu kan juga butuh belajar. Masa apa-apa yang urus bosnya? Percaya aja kenapa, sih?” “Ngga bisa, Ra. Ini klien besar. Aku ngga bisa percaya sama orang kayak Rico.” “Terus emangnya orang macem apa yang bisa kamu percaya?” Pertanyaan Adara membuat Dirga diam. “Ga, kamu sadar ngga? Kamu susah banget untuk percaya dan menghargai usaha orang lain? Aku kalo jadi staff kamu juga udah nyerah kayaknya.” “Kamu kenapa, sih, Ra? Kok malah ngomongnya gitu? Aku kan cuma pengen cerita aja sama...

Perjalanan Pulang

Gambar
Malam ini, di perjalanan pulang. Pulang dengan ojek online seperti biasa. Yang berbeda, aku melewati sebuah jalan yang menjejak di pikiran. Adalah jalan ketika bahagia masih milik kita, Adalah jalan ketika suara tawa menemani perjalanan kita. Awalnya aku tidak begitu yakin dengan jalan itu, toh sudah lewat beberapa tahun lalu. Hingga aku menemukan sebuah pertigaan, yang biasanya kita isi dengan perbincangan, “Oh, gue pernah kesini. Beli ayam.” “Sama siapa?” “Sama anak-anak kampus.” Atau, “Ini ke kanan apa kiri, deh? Lupa gue.” “Lurus! Kalo ke kiri, kan, tempat beli ayam.” “Lah, kok tau beli ayam disitu?” “Kan pernah cerita.” Kemudian, Aku melewati sebuah papan jalan, ‘selamat jalan, terima kasih’ begitu katanya. Ingin aku bisikkan padamu kata-kata itu, rasanya. Tidak lama, aku melewati lampu lalu lintas.  Aku harus berhenti, karna lampu merah. Lalu ku ingat jika bersama mu maka kita tidak akan berhenti begini, kita akan memotong...